Beban Berat Sektor Pertanian Menanggung Pengangguran Saat Pandemi

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.
Petani memanen padi yang ditanam dengan dengan sistem hidroganik di Perumahaan Bumi Sawangan Indah, Depok, Jawa Barat, Selasa (16/2/2021). Kelompok Tani Terpadu Angsana 12 memanfaatkan lahan tidur di sekitar perumahan mereka sebagai lokasi menanam padi dengan sistem hidroganik.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
17/2/2021, 21.08 WIB
  • Porsi PDB sektor pertanian hanya 13%, jumlah tenaga kerja yang ditanggungnya 29,8%.
  • Produktivitas sektor pertanian terus menurun selama beberapa tahun terakhir.
  • Pemerintah harus mendorong pemanfaatan teknologi di sektor pertanian.

Pertumbuhan ekonomi nasional pada 2020 mengalami kontraksi -2,07% akibat adanya pandemi Covid-19. Sepanjang tahun lalu, hanya ada satu sektor yang tetap tumbuh positif, yakni pertanian. Benarkah sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak ini kebal resesi?

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor pertanian tumbuh 1,75% pada 2020 dengan andil kepada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 13,7%. Bila sektor pertanian mengalami kontraksi, pertumbuhan ekonomi nasional dipastikan akan ikut jatuh lebih dalam.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, sektor pertanian menanggung beban berat selama pandemi. Kondisi ini terjadi karena banyak orang yang kehilangan pekerjaan di kota.

Akibatnya, pengangguran di kota memilih kembali ke desa untuk bekerja sebagai petani. Akibatnya, tenaga kerja pertanian meningkat dari 36,71 juta pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta pada Agustus 2020. Angka tersebut setara 29,76% dari total angkatan kerja Indonesia sebanyak 138,22 juta orang.

"Jadi ketika share PDB hanya 13%, sementara itu harus menanggung 29,8% tenaga kerja, bisa dibayangkan beban sektor pertanian menjadi lebih berat," ujar dia dalam diskusi Indef, Rabu (17/2).

Meski jumlahnya besar, kualitas sumber daya manusia pertanian masih kurang memadai. Sebab, sebagian besar petani memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta berusia lanjut. Oleh karenanya, pemerintah perlu menyiapkan strategi agar generasi muda bisa menekuni sektor pertanian.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR Charles Meikyansyah menilai positif fenomena ruralisasi atau kembalinya masyarakat kota ke desa akibat pandemi ini. "Lagi-lagi sektor pertanian menyumbang penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian menjadi bantalan pertumbuhan ekonomi nasional ke depan," ujar dia.

Ia pun menilai, kondisi tersebut mencerminkan sektor pertanian tidak sepenuhnya ditingalkan. Oleh karena itu, sektor pertanian perlu dipertahankan mulai dari sektor hulu. Di sisi lain, penciptaan nilai tambah pertanian juga perlu dilakukan.

Sebaliknya, ekonom Senior Indef Bustanul Arifin menyebut kenaikan tenaga kerja petani justru menumpuk beban baru pada sektor pertanian. Konsekuensinya, penurunan produktivitas bisa terjadi.

"Ini masalah sangat serius. Memang betul pertanian menjadi bantalan. Tapi kalau bantalnya diinjak oleh orang banyak, jadi kempis," katanya.

Berikut adalah Databoks serapan tenaga kerja sektor pertanian: 

Bustanul pun mencatat, produktivitas sektor pertanian menurun. Pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) pertanian pada 2006-2010 sebesar 1,71%. Sementara, pertumbuhan TFP pada 2011-2015 mengalami kontraksi 0,36%. Sedangkan, TFP pada 2016 hingga 2017 menurun 0,05%. Pertumbuhan TFP pertanian yang mengalami kontraksi menunjukkan penurunan produktivitas pertanian.

Pertumbuhan TFP pertanian tersebut juga lebih rendah dari TFP nasional. Pada 2011-2015, TFP nasional tumbuh 1,30%. Sementara pada 2016-2019, TFP nasional tumbuh sebesar 0,41%.

Sebagai contoh, produktivitas beras pada tahun lalu masih stagnan. Ia mencatat, produktivitas beras pada 2018 mencapai 5,20 ton per hektare. Selanjutnya, produktivitas beras pada 2019 dan 2020 hanya sebesar 5,11 ton per hektare.

Kondisi itu terjadi lantaran ada penurunan kapasitas produksi. Produksi Gabah Kering Giling pada 2019 mencapai 54,60 juta ton, sementara pada 2020 turun 0,13% menjadi 54,53 juta ton. "Kalau kapasitas menurun, sulit meningkatkan produktivitas," ujar dia.

Adapun, penurunan produksi terjadi karena kurangnya pengelolaan air, belum berjalannya peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan keteragantungan pupuk kimia yang sangat tinggi.

Di sisi lain, masih ada disparitas produksi padi antarwilayah. Produktivitas padi tertinggi pada 2020 terjadi di Jawa yang mencapai 5,64 ton per hektare. Sementara, produktivitas padi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi secara berturut-turut sebesar 4,8 ton per hektare, 3,37 ton per hektare, dan 4,47 ton per hektare.

MENANAM PADI DENGAN SISTEM TABELA DI GOWA (ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/wsj.) 

Pemanfaatan Teknologi Pertanian

Dengan permasalahan tersebut, Bustanul menilai perubahan teknologi menjadi salah satu solus. Sektor pertanian dianggap perlu memanfaatkan perubahan teknologi dalam bidang produksi, panen, dan pasca panen.

Selain itu, perlu peningkatan kualitas benih dan input lain untuk meningkatkan pertanian. Peningkatan TFP juga bisa dilakukan melalui perbaikan kinerja penelitian dan pengembangan, penyempurnaan ekosistem inovasi, dan kerjasaama antara akademisi, bisnis, pemerintah, dan masyarakat.

"Kita tahu penyatuan litbang oleh BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) masih bermasalah. Namun ini harus ditingkatkan," ujar dia.

Sementara, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengatakan, revolusi industri 4.0 harus membuat sektor pertanian optimistis. Pihaknya pun telah melakukan sejumlah inovasi untuk sektor pertanian. "Tapi ini memerlukan business matching antara perguruan tinggi dan pasar," ujar dia.

Salah satu contoh inovasi yang dilakukan IPB ialah Platform Ecosystem, yaitu sistem pintar deteksi konversi lahan. Platform tersebut dapat menyediakan informasi mengenai distribusi komoditas strategi nasional, pemantauan perubahan penggunaan lahan, dan sistem peringatan dini untuk perubahan tutupan vegetasi per 8 hari.

Selain itu, ada pula inovasi SMARTSeeds, yaitu layanan informasi benih, sayuran, dan pemupukan presisi. Sejumlah keunggulan layanan tersebut ialah mampu merekomendasi pemupukan, irigasi, prediksi curah hujan, dan mengotomatiskan pemetaan komoditas.

Keunggulan SMARTSeeds lainnya, layanan data geospasial untuk pengembangan tanaman hortikultur yang diletakkan dalam web, aplikasi, dan SMS. selain itu, integrasi dalam Apps Spindo, mendapatkan rekomendasi berbasis lokasi untuk berbagai komoditas hortikultur.

Kemudian, ada pula inovasi Fire Risk System (FRS), Deteksi Pintar Kesehatan Tanaman Padi, Nutrigads, SMART Integrated Pest Management, Apartemen Kepiting 4.0, Provibio, hingga penciptaan 57 varietas unggul IPB. "Mudah-mudahan inovasi ini bermanfaat," ujar dia.

Reporter: Rizky Alika