Pemerintah memutuskan untuk mengejar kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) secara perdata. Namun, pakar berharap pemerintah tak memukul rata pengusutan kasus tersebut dari sudut pandang perdata saja.
Dekan Fakultas Hukum Universtas Pakuan Yenti Garnasih meminta pemerintah untuk memilah kasus yang masih dalam ranah pidana. Apalagi kasus ini tak hanya terkait mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim.
"Jangan putusannya Temenggung, langsung otomatis semuanya kasus BLBI tidak ada kasus (pidana) lagi . Terlalu buru-buru menyatakan itu," kata Yenti saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (14/4).
Apalagi menurutnya Syafruddin hanya dinyatakan lepas dari tuntutan pidana alias ontslag van alle rechtsvervolging. Ini dapat diartikan yang bersangkutan tetap salah meski sekarang masuk ranah perdata.
Oleh sebab itu Yenti meminta pemerintah lebih jeli lagi dalam melihat kasus ini. Apalagi kasus BLBI melibatkan banyak orang. "Jadi bukan otomatis semua rontok (kasusnya)," kata dia.
Selain itu, ia juga berharap pemerintah juga menggunakan perspektif pidana dalam memandang kasus ini. Apalagi ini terkait uang triliunan yang bertahun-tahun hilang.
Selain itu Yenti menilai Satuan Tugas sulit bekerja efektif dalam mengejar aset hak tagih BLBI yang mencapai hampir Rp 110 triliun. Apalagi aset tersebut kemungkinan telah berpindah tangan atau beralih ke luar negeri.
Sebagaimana diketahui, KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) penyidikan dugaan Tindak Pidana Korupsi kepada Sjamsul Nursalim dan istrinya yakni Itjih Sjamsul Nursalim. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu dua tahun.
Selanjutnya, Presiden Joko Widodo telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021. Dalam aturan tersebut, Satgas ditugaskan sampai dengan 31 Desember 2023.
Sementara, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Suparji Ahmad mengatakan, penerbitan SP3 ini sudah tepat secara yuridis. Satu-satunya cara komisi antirasuah melanjutkan kasus ini jika ditemukan alat bukti pendukung yang lain.
Ia menilai, penerbitan SP3 mencerminkan ketidaksiapan KPK dalam melanjutkan perkara terrsebut. "Dan kurang perhitungan dalam menetapkan tersangka," kata Suparji.