Putusan MK: KPK Bisa Geledah, Sadap dan Sita Tanpa Izin Dewan Pengawas

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) bersama sejumlah Hakim Konstitusi membacakan putusan perkara di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/5/2021).
Penulis: Rizky Alika
Editor: Yuliawati
4/5/2021, 21.01 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materiil Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi dalam perkara nomor 70/PUU-XVII/2019. MK menyatakan KPK tidak perlu izin Dewan Pengawas dalam melakukan penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Hakim Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5).

Kewenangan Dewan Pengawas dalam memberikan izin tertuang dalam Pasal 12C ayat 2, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2019. Hakim pun menyebutkan, ketiga pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Keputusan MK itu ditetapkan lantaran Dewan Pengawas bukan aparat penegak hukum. Hakim Aswanto pun menilai, izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk campur tangan terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegak hukum.

Lebih dari itu, izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum. "Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawasan," kata Aswanto.

Meski begitu, pimpinan KPK tetap memberitahukan penyadapan kepada Dewan Pengawas. Izin dari Dewan Pengawas untuk penggeledahan atau penyitaan dianggap tidak tepat. Sebab, kewenangan pemberian izin tersebut merupakan bagian dari tindakan yudisial.

Dengan demikian, frasa terkait izin tertulis dari Dewan Pengawas harus dimaknai menjadi memberitahukan kepada Dewan Pengawas.

Gugatan uji materiil itu diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia, Prof Fathul Wahid bersama dengan 4 orang lainnya. Dalam gugatannya, Fathul dkk menilai penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan merupakan tindakan pro justicia sehingga tidak tepat jika kewenangan untuk memberikan izin diberikan kepada Dewan Pengawas.

Fathul dkk memperkirakan keputusan yang dihasilkan Dewan Pengawas kemungkinan tidak independen. "Sebagai contoh, bagaimana jika yang ingin disadap oleh KPK adalah Ketua atau anggota dewan pengawas sendiri, istri/suami atau bahkan keluarganya?" demikian dalil yang disampaikan.

Reporter: Rizky Alika