MK Tolak Uji Formil UU KPK yang Diajukan Eks Pimpinan KPK
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penolakan itu dibacakan dalam sidang putusan 79/PUU-XVII/2019 pada Selasa (4/5).
Hakim menilai keberatan yang diajukan oleh para pemohon tidak beralasan menurut hukum. "Dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5).
Namun, satu orang hakim Wahiduddin Adams memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal permohonan pengujian formil revisi UU KPK. Ia menilai, revisi UU KPK telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.
Perubahan ini sangat tampak dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik, yaitu hasil pemilihan presiden (pilpres) dan hasil pemilihan umum legislatif (pileg).
Selanjutnya, ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden untuk mengesahkan revisi UU KPK menjadi UU, beberapa hari menjelang masa berakhirnya anggota DPR periode 2014-2019. Pengesahan juga dilakukan menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama.
"Singkatnya pembentukan UU a quo jelas berpengaruh secara signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat, minimnya masukan yang diberikan oleh masyarakat," ujar Anwar saat membacakan pendapat Wahiduddin.
Sebagaimana diketahui, uji formil tersebut diajukan oleh 14 orang, tiga di antaranya ialah komisioner KPK periode 2015-2019 yaitu, Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang.
Dalam gugatannya, Agus Rahardjo Cs menilai penyusunan revisi UU KPK telah melanggar rambu-rambu prosedural formil pembentukan undang-undang yang diatur dalam ketentuan UUD 1945.
Selain itu, proses pembahasan RUU KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, Agus cs berpandangan proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat di dalam batang tubung undang-undang tersebut.
Kecacatan prosedural revisi UU KPK merupakan salah satu bagian dari upaya pelemahan KPK yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Upaya pelemahan tersebut dilakukan dengan mendegradasi kewenangan KPK secara perlahan melalui Perubahan UU KPK yang disahkan secara tergesa-gesa dan menabrak berbagai rambu-rambu prosedural.
"Upaya pelemahan ini dilakukan melalui penyalahgunaan
legitimasi dan mekanisme legal-konstitusional oleh pembentuk undang-undang," demikian dalil yang disampaikan Agus cs.