Warga Ibu Kota Dapat Kado Polusi Udara pada HUT DKI Jakarta ke-495

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Kapal eretan menyeberangi aliran Kanal Banjir Barat dengan latar belakang deretan gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Jumat (17/6/2022).
Penulis: Happy Fajrian
22/6/2022, 11.05 WIB

Warga ibu kota mendapatkan “kado” berupa polusi udara pada peringatan hari ulang tahun (HUT) DKI Jakarta ke-495 yang jatuh pada hari ini, Rabu (22/6). Pasalnya selama sepekan terakhir kualitas udara Jakarta selalu berada di urutan kedua kota dengan polusi udara terburuk di dunia.

Menurut data IQAir, pada Senin (20/6) pukul 06.00 wib, kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI (Air Quality Index/Indeks Kualitas Udara) yang berarti sudah masuk ke level sangat tidak sehat.

Keesokan harinya, Selasa (21/6) pukul 06.33 wib, Jakarta berada di urutan ketiga dalam daftar kota paling berpolusi di dunia dengan 154 US AQI, di bawah Beijing (Cina) 176 US AQI dan Kuwait 154 US AQI.

Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, tidak membantah jika cuaca turut andil dalam kenaikan kadar polusi udara di Jakarta dalam beberapa hari terakhir, tetapi dia juga menyoroti adanya secondary air pollutants sebagai penyebab utama pencemaran udara.

“Satu hal yang sudah tidak bisa dibantah lagi, bahwa polusi udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat dalam beberapa hari ini, bahkan bila kita mengacu pada data resmi milik KLHK dan DLH DKI Jakarta,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Katadata.co.id, Selasa (21/6).

Dia menambahkan bahwa salah satu penyebab buruknya kualitas udara ibu kota memang cuaca, tetapi penyebab utamanya adalah lebih pada masih adanya sumber pencemar udara (bergerak dan tidak bergerak) yang terbukti belum dikendalikan serius melalui kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

“Polusi udara dari PM2.5 terjadi peningkatan ketika dini hari hingga pagi hari, hal ini terjadi karena tingginya kelembaban udara sehingga menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel,” tutur Bondan.

Sementara itu, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup ICEL, Fajri Fadhillah, menjelaskan bahwa kondisi polusi udara di ibu kota bukan cuma tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga pemerintah pusat.

“Pencemaran udara Jakarta ini permasalahan lintas batas. Kontribusi sumber pencemar udara dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, cukup signifikan terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta,” ujarnya.

Menurut dia, dalam kondisi seperti ini, Menteri LHK harus menjalankan kewajibannya untuk melakukan pengawasan dan supervisi terhadap ketiga gubernur agar melakukan upaya pengetatan batas emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing.

Fajri juga menegaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah provinsi tidak lagi perlu saling tuding ataupun berdebat mengenai sumber pencemar udara di Jakarta. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dapat menyusun langkah-langkah pengendalian pencemaran udara yang lebih ketat.

“Baku mutu emisi baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk industri dan pembangkit listrik harus diperketat. Jadi, tidak perlu lagi berdebat soal sumber pencemar udara Jakarta ini dari mana saja karena datanya sudah jelas. Kedua sumber pencemar udara sama-sama perlu diperketat,” ujar Fajri.

Senada Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Sirait juga merasa prihatin dengan sikap pemerintah, baik pusat maupun provinsi, yang terkesan lepas tangan terhadap permasalahan polusi udara di ibu kota.

Padahal, September tahun lalu, Koalisi IBUKOTA memenangi gugatan CLS di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, faktanya, warga ibu kota masih belum bisa menikmati kemenangan tersebut dengan mendapatkan udara bersih.

“Hal ini sangat memprihatinkan. Warga menang, tetapi pemerintah (pusat dan daerah) seolah tidak bersedia taat pada perintah pengadilan. Pemerintah pusat yang memutuskan untuk banding, seolah-olah menjadi celah bagi pemerintah untuk menunda upaya pengendalian polusi udara di DKI Jakarta alias buying time, padahal setiap harinya warga ibu kota bertaruh nyawa untuk bisa menghirup udara bersih,” kata dia.

Lebih lanjut, Jeanny berharap ada gerakan bersama dari masyarakat Jakarta untuk mendesak pemerintah pusat melakukan pengendalian polusi udara di ibu kota dan wilayah sekitarnya.

"Harus ada gerakan bersama dari masyarakat. Tentu saja tidak cukup jika Koalisi IBUKOTA saja yang melakukan, harus ada gerakan bersama dari masyarakat untuk mendesak pengendalian polusi udara di DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya," ucap Jeanny.