Obat Sirop Disetop, Pedagang Tagih Kompensasi Rugi ke Kemenkes

Sejumlah pedagang menutup dengan kain lemari yang menyimpan obat sirup di apotek usai inspeksi mendadak (sidak) di Bekasi, Jawa Barat, Senin (24/10/2022).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Yuliawati
24/10/2022, 17.34 WIB

Kasus obat sirop yang mengandung racun Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) membuat pedagang menelan kerugian. Para pedagang di pasar Pramuka, Jakarta, menuntut ganti kerugian atas penghentian distribusi obat.

Kementerian Kesehatan pada akhir pekan lalu mengeluarkan larangan penjualan 102 obat sirop karena diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA. BPOM kemudian mengklarifikasi sebanyak 23 dari 102 daftar obat tersebut dianggap aman.

Ketua Pengurus Harian Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka Yoyon mengatakan seharusnya pemerintah memerintahkan terlebih dahulu produsen untuk menarik obat dari peredaran. Yoyon mengatakan dengan kebijakan seperti sekarang, pedagang obat menderita rugi karena tak bisa mengembalikan kepada produsen.

"Kalau sekarang tidak ditarik dari pasar, kami jelas merugi. Kompensasinya, kembalikan modal pedagang dari pembelian obatnya," kata Yoyon kepada Katadata.co.id, Senin (24/10).

Dia juga menyarankan agar aparat tak hanya menindak para pedagang, tapi mendorong produsen menarik produk. "Inspeksi produsennya, tanya kenapa barangnya masih ada di lapangan," ujar Yoyon.

Tak Ada Penjualan Obat Sirop

Berdasarkan pantauan Katadata hari ini, tak ada penjualan obat sirop di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Yoyon mengatakan sejak 18 Oktober, ketika muncul dugaan terdapat racun EG dan DEG dalam obat sirop, penjualannya langsung turun 95%.

Yoyon mencatat total pedagang yang menjual obat sirop di Pasar Pramuka mencatat mencapai 60 toko atau 30% dari total pedagang. Menurutnya, rata-rata kontribusi obat sirop terhadap volume obat yang dijual per toko adalah 40%-50% dari total obat.

Yoyon berharap pemerintah segera menyelesaikan permasalah obat sirop saat ini. Namun demikian, Yoyon lebih meminta agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sinkron antar lembaga di sektor farmasi.

Menurutnya, saat ini para pedagang farmasi mengalami kebingungan lantara Kementerian Kesehatan dan BPOM mengeluarkan kebijakan yang berlawanan.

Sebagai informasi, Kementerian Kesehatan atau Kemenkes mengeluarkan larangan penjualan 102 obat sirop. Pelarangan obat tersebut dilakukan untuk menurunkan jumlah pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA.

Namun demikian, BPOM telah mengeluarkan daftar 133 obat sirop yang boleh diperdagangkan. Yoyon menemukan sebagian daftar obat yang dilarang oleh Kemenkes diperbolehkan oleh BPOM.

"Jangan buat masyarakat jadi bingung. Perbedaan informasi itu membuat orang tua takut mempersiapkan stok obat di rumah, terutama obat sirop," kata Yoyon.

Berdasarkan pengamatan Katadata.co.id, beberapa toko masih memajang obat sirop dalam etalase tokonya, salah satunya Toko Wisnu. Secara umum, obat sirop yang dipajang adalah obat herbal atau vitamin.

Pegawai Toko Wisnu, Arifin, menyampaikan penjualan obat sirop sama sekali tidak ada sejak minggu lalu. Pasalnya, penjualan yang telah dilakukan sebelum pengumuman Kemenkes langsung melakukan retur.

Menurutnya, hal tersebut berpengaruh kepada pendapatan Toko Wisnu. Arifin mencatat penjualan obat sirop berkontribusi sekitar 10% dari total penjualan.

"Yang terpajang saat ini masih boleh dijual, tapi yang beli enggak ada dan stok di gudang masih ada," kata Arifin.

Reporter: Andi M. Arief