Kemenlu dan Kemenkumham Akan Jawab Kekhawatiran PBB Soal KUHP Baru

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP mebentangkan poster saat aksi penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dengan tabur bunga di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin, (5/12).
9/12/2022, 17.36 WIB

Kementerian Luar Negeri  akan berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM dalam menanggapi kekhawatiran Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB terkait Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru.

Sebagai informasi, PBB menilai KUHP paling baru memiliki beberapa pasal yang bertentangan dengan kewajiban hukum internasional terkait hak asasi manusia atau HAM. Selain itu, PBB menilai ada beberapa pasal yang berpotensi melanggar kebebasan pers di Indonesia.

"Pada waktunya akan dijelaskan oleh KemenkumHAM dan Kemenlu akan berkoordinasi. Secepatnya disampaikan dan pembahasan terkait substansi KUHP akan disiapkan kementerian maupun lembaga terkait," kata Teuku kepada Katadata.co.id, Jumat (9/12).

Pemerintah akan menugaskan Kemenkumham terkait komentar yang diarahkan terkait KUHP. Sementara itu, kementerian dan lembaga terkait masih menyiapkan penjelasan terkait substansi aturan tersebut.

Teuku juga mendorong agar semua pihak dan perwakilan negara sahabat untuk menunggu penjelasan substantif dari tim penyusun. Pasalnya, menurutnya, tim penyusun memiliki pemahaman terkait landasan filosofis dan norma-norma di balik setiap pasal dalam revisi KUHP.

"Oleh karena itu akan lebih bijak untuk menunggu penjelasan oleh mereka yang kompeten, sehingga tidak terburu-buru mengomentari," kata Teuku.

Dalam keterangan resmi, PBB menyatakan adopsi ketentuan tertentu dalam KUHP yang direvisi tampaknya tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan HAM, termasuk hak atas kesetaraan.

Hal lain yang menjadi perhatian mereka adalah potensi KUHP yang baru akan mendiskriminasi perempuan, anak perempuan, anak laki, dan minoritas seksual. Mereka juga khawatir beberapa pasal akan berdampak pada hak kesehatan seksual, hak privasi, hingga memperburuk kekerasan berbasis gender.

"Ketentuan lain berisiko melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan dapat melegitimasi sikap sosial yang negatif terhadap kepercayaan minoritas," kata PBB.

Padahal, PBB telah menyerukan kepada pemerintah dan dewan untuk memastikan hukum dalam negeri selaras dengan hak asasi manusia. Mereka mendorong pemerintah berdialog secara terbuka dengan masyarakat sipil.




Reporter: Andi M. Arief