Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pemilihan umum tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Hakim MK menjelaskan alasan menolak gugatan beberapa pihak yang mengajukan sistem tertutup.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra berargumen mayoritas pengubah Undang-Undang Dasar 1945 pada 1999 menginginkan agar Pemilihan Umum menggunakan sistem proporsional terbuka.
Saldi mengatakan, ide pelaksanaan Pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup hanya muncul satu kali sejak Pemilu pertama pada 1955. Namun usulan menggunakan sistem proporsional tertutup dimaksudkan untuk sementara.
"Sistem proporsional terbuka lebih (sesuai) dengan Pemilu yang diinginkan oleh UUD 1945," kata Saldi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (15/6). Meski demikian, Saldi mengatakan sistem pemilu apapun memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sebagai informasi, beberapa kader PDIP dan Partai Nasdem mengajukan uji materi terhadap delapan pasal pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke MK. Mereka beralasan pengubahan delapan pasal dan perubahan sistem dapat meningkatkan kepesertaan perempuan di Senayan dan menghapuskan politik uang.
Saldi menjelaskan politik uang dapat terjadi pada Pemilu dengan sistem proporsional terbuka maupun tertutup. Selain itu, ia berpendapat fenomena ini tak bisa langsung dihapuskan dengan mengubah pasal dalam UU Pemilu.
MK menilai ada tiga langkah yang dapat diambil pemangku kepentingan dalam menyelesaikan politik uang. Pertama, partai harus meningkatkan komitmen untuk tidak menggunakan politik uang. Kedua, penyelenggara pemilu harus tegas dalam menegakkan hukum.
Selain itu, pemerintah harus memberikan efek jera terhadap partai politik yang melakukan politik uang. Hukuman yang diberikan adalah permohonan pembubaran partai politik yang terbukti melakukan politik uang.
"Ketiga, masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak menerima dan mentolerir politik uang," kata Saldi.
Terkait kepesertaan perempuan, para pemohon menilai Pemilu dengan sistem proporsional terbuka menyulitkan keterwakilan perempuan. Pasalnya, kepesertaan perempuan di Senayan kurang dari 30 persen sejak 2008.
MK mengatakan kontribusi perempuan sebagai anggota legislatif hanya 20,8 persen pada Pemilu 2019. Saat itu, sebanyak 127 perempuan mendapatkan kursi sebagai legislator.
Padahal, Komisi Pemilihan Umum telah mewajibkan partai politik untuk mengalokasikan 30 persen dari total calon legislatif dari masih-masing partai untuk perempuan. Oleh sebab itu, MK beranggapan sistem pemilu bukan jadi satu-satunya faktor keterpilihan perempuan.
"Namun ada faktor lain, misalnya pola rekrutmen partai politik dan pendidikan politik," kata Saldi.
Di sisi lain, para pemohon menilai UU Pemilu harus direvisi lantaran sistem proporsional terbuka mengikis keterlibatan partai politik. Pasalnya, pemilih memilih langsung calon legislatif yang ditawarkan tanpa melihat urutan yang ditentukan partai politik.
MK membantah argumen tersebut dengan melihat realisasi tiga Pemilu sebelumnya, yakni pada 2009, 2014, dan 2019. Menurutnya, dua nomor teratas yang diatur oleh partai politik memiliki peluang sekitar 80 persen untuk menjadi legislator.
"Ruang yang murni diperebutkan dalam menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak hanya 20 persen," kata Saldi.
Akan tetapi, MK menilai perlu ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan dalam Pemilu bersistem proporsional terbuka. Mereka memberikan lima rekomendasi, yakni:
1. Tidak terlalu sering melakukan perubahan, sehingga ada kepastian suatu sistem Pemilu.
2. Perubahan sistem harus ditempatkan dalam menyempurnakan dan menutup kelemahan Pemilu.
3. Perubahan sistem harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan Pemilu dimulai, sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi.
4. Perubahan sistem harus menjaga keseimbangan antar peran partai politik.
5. Perubahan sistem tetap melibatkan semua yang memiliki perhatian dalam penyelenggaraan Pemilu dengan memperhatikan prinsip partisipasi publik.