MK: Pasal Pencemaran Nama Baik di KUHP Inkonstitusional Bersyarat

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang perkara Nomor 145/PUU-XXI/2023 mengenai uji formil batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
22/3/2024, 10.26 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal yang mengatur ketentuan pencemaran nama baik inkonstitusional bersyarat. Adapun, pasal dimaksud adalah Pasal 310 ayat (1) KUHP.

Ini merupakan hasil putusan MK terhadap gugatan yang diajukan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. MK menyatakan tak ada perbedaan mendasar antara Pasal 310 ayat (1) KUHP dengan Pasal 433 KUHP yang baru.

Meski demikian, MK menemukan adanya perbedaan antara Pasal 310 ayat (1) dengan Pasal 433 KUHP. Pasal 433 menyebutkan pelaku mencemarkan nama baik dengan mencakup perbuatan 'dengan lisan'.

Oleh sebab itu, unsur perbuatan dengan lisan ang diatur dalam Pasal 433 KUHP bisa diadopsi untuk memberikan kepastian hukum.

"Dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian." kata Hakim MK Enny Nurbaningsih dalam keterangan tertulis, Jumat (22/3).

Pasal 310 ayat (1) berbunyi seperti berikut:

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Adapun Pasal 433 ayat (1) berbunyi:

Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut
diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

MK juga mengabulkan sebagian gugatan Haris dan Fatia serta menghapus Pasal 14 dan Pasal 16 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana soal berita bohong.

Hakim menilai unsur berita bohong serta kabar yang tak pasti dalam Pasal 14 dan Pasal 15 ambigu. Parameter yang tak jelas itu bisa membatasi hak setiap orang untuk berpikir.

"Terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Sebelumnya, Haris dan Fatia mengaukan uji materi pasal pencemaran berita baik dan berita bohong dalam KUHP karena dianggap tak demokratis dan disalahgunakan untuk membungkam kritik.

Pasal yang digugat adalah Pasal 310 KUHP, Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 serta Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).