Pejabat Kementan Ungkap Auditor BPK Minta Rp 12 M untuk Pelicin WTP

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.
Terdakwa kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian Syahrul Yasin Limpo (kiri) beranjak saat sidang lanjutan diskorsing hakim untuk istirahat siang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (8/5/2024). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan empat saksi, antara lain Sekretaris Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Hermanto, mantan Bendahara Pengeluaran Direktorat Jendral Prasarana Sarana Pertanian Kementan Puguh Hari Prabowo, mantan Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangg
Penulis: Ade Rosman
8/5/2024, 20.35 WIB

Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto mengungkapkan ditagih oknum Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terkait uang predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Kementan.

Hal itu disampaikan Herman saat memberi kesaksian di hadapan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang perkara dugaan gratifikasi dan pemerasan dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo alias SYL, eks Sekjen Kementan Kasdi Subagyono, serta mantan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (8/5).

Hermanto menyebut, WTP dari BPK untuk Kementan sempat terganjal program lumbung pangan nasional atau food estate. Sehingga, oknum auditor BPK meminta uang senilai Rp 12 miliar sebagai pelicin. 

Ia menyebut pelicin WTP yang diminta berjumlah Rp 12 miliar namun baru dibayarkan Rp 5 miliar. Berdasarkan hal itu, ia mengaku ditagih agar sisanya segera dibayarkan. Jaksa pun menanyakan detailnya dalam persidangan pada Hermanto.

"Apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar itu menjadi WTP?" Jaksa bertanya.

"Ada. Permintaan itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp 12 miliar untuk Kementan," kata Hermanto.

“Diminta Rp 12 miliar oleh pemeriksa BPK itu?” Jaksa memastikan.

“Iya, (diminta) Rp 12 miliar oleh Pak Victor,” kata Hermanto.

Jaksa juga menanyakan apakah Hermanto mengenal oknum BPK tersebut.

"Sebelum kejadian WTP, saksi ada kenal Haerul Saleh? Victor? Orang-orang itu siapa?" tanya Jaksa.

"Kenal, kalau Pak Victor itu auditor yang memeriksa kita," kata Hermanto.

Jaksa lalu mendalami pemeriksaan yang BPK yang dilakukan oleh Haerul dan Viktor selaku auditor BPK. Hermanto menyebut terdapat persoalan pada program lumbung pangan nasional atau food estate.

"Bagaimana ada temuan-temuan tapi bisa menjadi WTP. Bisa saksi jelaskan?" Kata Jaksa.

“Misal contoh satu, temuan food estate itu kan temuan istilahnya kurang kelengkapan dokumen ya, kelengkapan administrasinya. Istilah di BPK itu BDD (Biaya Dibayar Dimuka), bayar di muka. Jadi, itu yang harus kita lengkapi, dan itu belum menjadi TGR (Tuntutan Ganti Rugi),” kata Hermanto menjelaskan.

Berdasarkan hal itu, ia menyebut terdapat kesempatan Kementan untuk melengkapi dan menyelesaikan pekerjaan tersebut. Jaksa lalu menanyakan proses pemeriksaan BPK hingga menjadi WTP.

"Saya enggak terlalu (tahu) persis mekanismenya," kata Hermanto.

Dalam sidang tersebut, jaksa menghadirkan empat orang saksi yakni Direktur Perbenihan Perkebunan Kementan, Gunawan; Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Hermanto; Kasubag Tata Usaha dan Rumga Kementan, Lukman Irwanto; dan Bendahara Pengeluaran Direktorat Jendral Prasarana Sarana Pertanian Kementan, Puguh Hari Prabowo.

Syahrul didakwa melakukan pemerasan serta menerima gratifikasi dengan total Rp 44,5 miliar dalam kasus dugaan korupsi di Kementan pada rentang waktu 2020 hingga 2023.

Pemerasan dilakukan bersama Kasdi Subagyono selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian periode 2021–2023 serta bekas Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta antara lain untuk membayarkan kebutuhan pribadi Syahrul Limpo.

Dalam perkara ini, Syahrul didakwa melanggar Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

Reporter: Ade Rosman