Pakar Sebut Pilkada 2024 Terancam Inkonstitusional jika DPR Abaikan Putusan MK

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (atas, kanan) menyampaikan tanggapan pemerintah saat rapat paripurna ke-2 Masa Persidangan I tahun sidang 2024-2025 DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (20/8/2024).
21/8/2024, 16.31 WIB

Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) mengingatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 ihwal ambang batas persentase suara.

Pakar Hukum Kepemiluan UI Titi Anggraini mengatakan putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat serta berlaku untuk semua pihak. Ia mengkhawatirkan, jika ini dilanjutkan, maka ada pembangkangan terhadap konstitusi.

"Bila terus dibiarkan maka Pilkada 2024 inkonstitusional dan tidak terlegitimasi untuk dilaksanakan," kata Titi dalam pesan singkatnya kepada Katadata.co.id, Rabu (21/8).

Titi mengatakan bahwa MK merupakan penafsir konstitusi tunggal yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945 dalam sistem hukum Indonesia. Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah dan DPR menghormati putusan tersebut.

"Ketika MK sudah memberi tasir, maka itulah yang harus diikuti semua pihak. Senang atau tidak senang,” ujar Titi.

Sebelumnya, Baleg DPR menyepakati syarat ambang batas persentase perolehan suara sah hanya diberlakukan bagi persyaratan untuk mendaftarkan calon dari partai nonparlemen atau partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Tafsiran atas Putusan MK 60 itu menjadi landasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota alias UU Pilkada.

Rapat panitia kerja (Panja) Baleg DPR menyepakati perubahan syarat pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD. Hal itu termuat dalam daftar inventaris masalah (DIM) pasal 40 UU Pilkada.

Panja menyepakati bahwa parpol atau gabungan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD provinsi, dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan ketentuan.

Kelanjutan bunyi DIM itu lalu mengikuti putusan MK 60/2024. Untuk provinsi dengan daftar pemilih tetap (DPT) 2 juta jiwa, maka parpol atau gabungan parpol non parlemen harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi terkait.

Ambang batas bagi partai non parlemen makin progresif menyesuaikan jumlah DPT. Bagi provinsi yang memiliki DPT 2-6 juta jiwa ditetapkan threshold 8,5%. Sementara itu, provinsi dengan jumlah 6—12 juta DPT ditetapkan ambang batas 7,5% dan provinsi dengan DPT lebih dari 12 juta jiwa dikenakan threshold 6,5%

Selain di tingkat provinsi, ambang batas juga ditetapkan di pemilihan kepada daerah tingkat kabupaten/kota. Ambang batas 10% berlaku di wilayah dengan DPT 250 ribu orang. Bagi daerah yang memiliki DPT 250 ribu-500 ribu ditetapkan ambang batas 8,5% dari total suara sah.

Lalu ambang batas 8,5% untuk wilayah dengan DPT 250 ribu—500 ribu jiwa dan 7,5% untuk daerah dengan 500 ribu—1 juta DPT. Kemudian untuk wilayah dengan DPT di atas 1 juta jiwa ditetapkan ambang batas 6,5%.

Baleh juga kembali memasukan aturan lama UU Pilkada terkait syarat pencalonan untuk partai-partai yang memiliki kursi di parlemen DPRD. Aturan tersebut tertulis dalam Pasal 40 ayat 1 revisi UU Pilkada yang berbunyi:

Setiap patpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu