Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim Undang-Undang (UU) tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan dirancang untuk menguntungkan petani. Ini dikarenakan, aturan yang baru yang disahkan tersebut lebih mendefinisikan kelompok petani kecil dibanding undang-undang sebelumnya.
"Undang-Undang yang dulu itu disamakan antara petani kecil dan besar. Sekarang kami beri ruang bagi petani kecil untuk berinovasi," kata Amran di kantornya, Jakarta, Selasa (25/9).
Definisi petani kecil yang dimuat dalam aturan tersebut telah mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor MK 99/PUU-X/2012. Dalam putusan itu disebutkan, bahwa petani kecil merupakan mereka yang sehari-hari bekerja di sektor pertanian dengan penghasilan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
(Baca: Serikat Petani Demonstrasi di DPR Tolak Lima Undang-undang Bermasalah)
Sementara itu, undang-undang tersebut mengatur distribusi benih antar petani kecil hanya dibatasi dalam satu kabupaten. Dengan demikian, petani kecil tidak bisa mendistribusikan benihnya kepada petani di luar kabupaten.
Sebab, distribusi lintas kabupaten, merupakan wewenang pengusaha besar. "Jadi kalau menjangkau kabupaten lain, itu wewenang korporasi," ujar Amran.
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) juga juga menurutnya bakal aktif melayani petani kecil di kabupaten, termasuk distribusi benih di kabupaten bila ditemukan varietas baru.
Tak hanya itu, UU tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan juga menurutnya bakal mengatur mitigasi risiko jika bibit bermasalah, sehingga meringankan beban petani. "Jadi UU ini jangan dibolak-balikkan atau dipolitisi," kata dia.
Dia juga menyebut, petani menanggapi positif terbitnya UU tersebut.
(Baca: Menteri Amran: Yang Suka Demo, Coba Suruh Jadi Menteri)
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012 sebelumnya memperbolehkan petani kecil mengedarkan varietas hasil pemuliaan kepada komunitasnya, dan tidak dibatasi oleh wilayah. Komunitas yang dimaksud didalam putusan MK adalah sesama petani yang berada di wilayah hukum Indonesia.
Ia pun menilai, upaya pembatasan peredaran benih merupakan hal yang keliru. "Pemerintah lupa sosiokultural petani di mana petani hidup berdampingan di antara kabupaten," ujarnya kepada katadata.co.id.
Henry juga menilai, masih ada sejumlah poin lainnya yang belum sesuai dengan harapan SPI. Hal ini terjadi lantaran proses penyusunan UU kurang melibatkan petani.