Masalah Ketahanan Pangan Diragukan Beres pada 100 Hari Pemerintah Baru

ANTARA FOTO/MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS
Petani membajak sawah menggunakan traktor di Desa Tambak Baya, Lebak, Banten, Selasa (23/4/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah nominal buruh tani pada Maret 2019 naik sebesar 0,17% dari Rp5.2.781 menjadi Rp.53.873 per hari pada bulan April 2019.
Editor: Ekarina
13/5/2019, 22.26 WIB

Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayi Khrisnamurthi mengatakan ketahanan pangan memiliki persoalan kompleks. Karenanya, persoalan tersebut dinilai sulit bisa diselesaikan dalam 100 hari pertama masa jabatan pemerintahan baru. 

Bayu mengatakan, kebijakan pangan harus berfokus pada persoalan stabilitas harga dan ketahanan pangan. "Indonesia berada dalam situasi yang sulit dalam hal pangan," ujarnya dalam acara diskusi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), di Hotel Le Meridien, Jakarta, Senin (13/5).

Menurutnya, ada sejumlah tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Dalam 10 tahun mendatan, 70% penduduk Indonesia diperkirakan akan berada di perkotaan. 

(Baca: Pengusaha: Kuliner Lokal Perlu Dukungan untuk Jaga Ketahanan Pangan)

Hal tersebut akan mengubah pola distribusi terutama lahan dan air. Jika 1 kilogram beras membutuhkan 1000 liter air. Maka, jika petani Indonesia menghasilkan 70 juta ton produksi gabah, diperlukan  70 triliun liter air per tahun.

Selain itu, tenaga kerja petani juga akan semakin berkurang. Dengan begitu, persoalan pangan akan menjadi sangat kompleks. 

Julukan Indonesia sebagai negara agraris tampaknya tidak akan lagi disandang. Sebab, luas lahan pertanian di Indonesia kini hanya 568 meter persegi per kapita. Lebih rendah dari Vietnam (1.000 meter persegi per kapita), Thailand (5.000 meter persegi per kapita) dan Australia (26.000 meter persegi per kapita).

Permasalahan lainnya, rasio lahan dan manusia (mand-land Ratio) Indonesia kini sudah kurang dari 0,2 hektare per kapita. Sementara itu, seluruh benih di Indonesia mulai dikuasai oleh perusahaan asing.

"Persoalan pangan tidak mungkin dapat dirubah dalam 100 hari pemerintahan baru Indonesia. Faktanya, butuh waktu lima hingga delapan tahun agar ekosistem sawah stabil untuk berproduksi," katanya.

(Baca: Bappenas: Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Krisis Air Bersih)

Dalam mencapai ketahanan pangan, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan  pemerintah. Masyarakat juga harus diberi kesempatan berperan di bidang pangan. "Jadi jangan hanya konsumsi saja," kata Bayu.

Karenanya, dia mendorong agar para gernerasi muda, mulai harus terlibatdalam bidang pertanian, guna membantu mencapai target pemerintah menciptakan ketahanan pangan.

Hal senada juga diungkap Peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman. Menurutnya, saat ini sudah banyak perusahaan rintisan (startup) di bidang pertanian yang berfokus pada peningkatan produktivitas pangan. "Secara cakupan data sudah mulai dilakukan, namun Undang-Undang yang masih cukup masif cenderung menghambat kinerja startup tersebut," ujar Ilman.

(Baca: Berkat Impor, Pedagang Diminta Jual Bawang Putih Rp30.000 saat Ramadan)

Di sisi lain, menurutnya ada dua hal yang bisa dilakukan dalam 100 hari pemerintahan baru Indonesia. Pertama, optimisasi data pangan. Berkaca ke tahun lalu dimana hubungan Bulog dan kementrian yang kurang kondusif karena kebijakan impor pangan, diharapkan bisa semakin bersinergi. 

Presiden terpilih menurutnya harus bisa mengintegrasikan Bulog dengan berbagai kementrian. Kedua, beberapa regulasi perlu ditinjau ulang terkait penyerapan distribusi beras Bulog.

Ilman juga menyayangkan wacana pengembalian skema penyaluran beras Bulog dari Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ke beras sejahtera (Rastra). Menurutnya,  BPNT sudah cukup membantu dalam hal  pendistribusian pangan dengan pemanfaatan teknologi yang ada secara cashless.