Harga Komoditas Jatuh, Pendapatan Petani Perkebunan Melemah

ANTARA FOTO/Akbar Tado
Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat, Sabtu (25/3). Menurut pedagang pengepul di daerah tersebut, harga sawit mengalami penurunan dari harga Rp1.400 menjadi Rp1.000 per kilogram akibat kualitas buah tidak terlalu bagus.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
4/12/2018, 12.00 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai tukar petani perkebunan rakyat periode November melemah menjadi 95,59 dibadingkan periode Oktober sebesar 96,26. Jatuhnya nilai tukar pekebun disebabkan oleh turunnya harga beberapa komoditas kebun  seperti kelapa sawit, kelapa, dan kakao.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan  nilai tukar petani perkebunan rakyat pada Oktober turun mencapai sebesar -0,69, berbeda dengan petani tanaman pangan yang justru  meningkat 1,37. "Indeks harga yang diterima petani turun karena harga komoditas perkebunan jatuh," kata Suhariyanto di Jakarta, Senin (3/12).

(Baca: Berharap Proyek Infrastruktur Jadi Juru Penyelamat Petani Karet)

Dia menyebutkan nilai tukar petani perkebunan rakyat jatuh di seluruh daerah Sumatera (kecuali Bengkulu) dan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sementara itu, petani perkebunan rakyat di Jogjakarta, Jawa Timur, dan Banten mengalami kenaikan tipis.

Suhariyanto menjelaskan perbedaan nilai tukar petani di beberapa daerah juga dikarenakan hasil produksi yang berbeda. "Pergerakan komoditas antarprovinsi itu berbeda," ujarnya.

Berdasarkan rilis Kementerian Perdagangan, harga referensi produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil /CPO) untuk penetapan bea keluar periode Desember 2018 adalah US$ 549,37 per ton, melemah USD 28,97 atau 5,01% dari periode November 2018 yang sebesar US$ 578,34/MT. Dengan demikian, untuk setiap ekspor CPO tak akan dikenakan bea keluar serta pungutan ekspor juga akan dihapus.

“Saat ini harga referensi CPO kembali melemah dan berada di bawah US$ 750 per ton,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan.

Halaman:
Reporter: Michael Reily