Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah segera merevisi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang pembelian harga gabah dan beras petani. Aturan itu menyebabkan penyerapan beras dan gabah Bulog tidak optimal, sehingga Cadangan Beras Pemerintah (CBP) menjadi sangat rendah.
"Daya serap Bulog rendah sehingga harus ada evaluasi harga," kata Wakil Ketua Komisi Pertanian DPR Michael Wattimenadi Bogor, Rabu (7/11).
Inpres 5/2015 menetapkan harga pembelian gabah Bulog dari petani sebesar Rp 3.700 per kilogram dan harga beras Rp 7.300 per kilogram. Sementara jika dijual kepada tengkulak atau pedagang besar, petani bisa mendapat harga jual yakni sekitar Rp 5.000 per kilogram (kg), lebih tinggi dibandingkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Karenanya pada akhirnya banyak petani lebih memilih menjual gabah dan beras kepada pengepul besar daripada pemerintah karena lebih menguntungkan.
(Baca: Tekan Inflasi, Pemerintah Enggan Tingkatkan HPP Beras dan Gabah)
Michael juga menilai, lambatnya revisi Inpres 5/2015 bisa menjadi pembenaran pemerintah untuk mengimpor beras. "Padahal, capaian Kementerian Pertanian sudah sangat maksimal tetapi kementerian lembaga lain tak berkoordinasi dengan baik," ujarnya.
Karena itu, pemerintah seharusnya segera melakukan pembahasan di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Tujuannya supaya daya beli Bulog lebih besar dan cadangan beras milik pemerintah dari dalam negeri lebih banyak.
(Baca : BPS: Harga Semua Jenis Beras Naik pada September 2018)
Koordinasi pemerintah yang tak berjalan baik, lanjut Michael, juga terjadi pada komoditas jagung. Alasannya, keputusan impor jagung sebanyak 100 ribu ton tak sejalan dengan capaian ekspor yang dilakukan Kementerian Pertanian.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, serapan dalam negeri Bulog per 31 Oktober 2018 sebesar 1,46 juta ton. Padahal, tahun 2017 lalu, hingga periode yang sama, serapan Bulog bisa mencapai 2,07 juta ton.