Larangan Sawit UE Ditunda, Mentan: Kesempatan Perbaiki Tata Kelola

ANTARA FOTO/Rahmad
Pekerja merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara, Aceh, Kamis (26/10).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
22/6/2018, 14.09 WIB
 

 Menteri Pertanian Amran Sulaiman menilai penundaan larangan penggunaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO)  sebagai bahan dasar biofuel hingga 2030 oleh Uni Eropa dapat menjadi kesempatan Indonesia memperbaiki tata kelola industri sawit. Dengan begitu, Indonesia dapat menghindari berbagai tudingan negatif yang kerap dilontarkan Parlemen Eropa terkait industri sawit.
 
Amran mengatakan, Indonesia dapat mengoptimalkan pendekatan berorientasi lingkungan dalam pengelolaan industri sawit. "Kesempatan kami untuk melakukan yang terbaik ke depan," kata Amran di kantornya, Jakarta, Jumat (22/6).
 
Menurut Amran, dengan penundaan larangan tersebut pula Indonesia harus mampu menjaga produktivitasnya agar mampu mendorong ekspor minyak sawitnya ke pasar dunia, khususnya Uni Eropa.
 
Pada kuartal pertama 2018, Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia dan turunannya turun 2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Volume ekspor minyak sawit Indonesia berkurang dari 8,02 juta ton menjadi 7,84 juta ton.
 
(Baca : Uni Eropa Buka Impor Sawit Hingga 2030)
 
Bila tanpa menghitung olechemical dan biodiesel, ekspor minyak sawit mentah dan turunannya turun 3% menjadi 7,5 juta ton  pada kuartal I 2018 dibandingkan dengan kuartal I tahun lalu sebesar 7,73 juta ton.
 
"Ini insyaAllah kita tingkatkan terus, tapi tetap harus ramah lingkungan," kata Amran.
 
Dirjen Perkebunan Kementan Bambang mengatakan, peningkatan produktivitas akan dilakukan dengan mendorong pendataan lahan sawit hingga mencapai 20 juta hektar. Menurut Bambang, saat ini lahan sawit yang terdata baru sebesar 14 juta hektar.
 
Dari jumlah tersebut, produksi sawit mencapai 3-3,9 ton per hektar. "Kami tingkatkan bisa sampai 7-10 ton per hektar, sehingga tanpa memperluas areal kami bisa memenuhi kebutuhan minyak dunia," kata Bambang.
 
Menurutnya,  pemerintah tak akan berhenti memberikan pemahaman terhadap parlemen Uni Eropa agar memandang industri sawit Indonesia lebih positif. Pemerintah juga menjamin jika industri sawit Indonesia tak bermasalah.
 
"Kami jamin tidak ada yang bersinggungan dengan kawasan, tidak ada yang statusnya tidak jelas, kebun rakyat yang blm bersertifikat kita berikan sertifikat,  sehingga semua industri sawit indonesia clear dan clean," kata Bambang. 
 
(Baca juga : Industri Sawit Eropa Dukung Indonesia Lawan Diskriminasi Uni Eropa)
 
Uni Eropa akan menunda pelarangan penggunaan CPO  sebagai bahan campuran biofuel hingga 2030. Keputusan itu disepakati dalam pertemuan trilog antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa pada 14 Juni 2018 yang juga menghasilkan revisi Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa (RED II).
 
Dalam teks RED II, Uni Eropa sepakat mencapai target energi terbarukan sebesar 32% pada 2030 dari yang ada saat ini sebesar 27%. Kesepakatan baru itu menggantikan rancangan proposal energi yang akan menghapus minyak kelapa sawit sebagai bahan dasar biofuel pada 2021.
 
Untuk mencapai target energi terbarukan Uni Eropa, kontribusi biofuel dari sejumlah kategori bahan baku akan dikurangi secara bertahap hingga 2030.
 
"Biofuel akan dikaji dengan perlakukan yang sama, tanpa melihat sumbernya. Teks RED II tidak akan membedakan atau melarang minyak sawit. Uni Eropa tetap menjadi pasar paling terbuka untuk minyak sawit Indonesia," kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend dalam keterangan resminya.
 
Dengan begitu, Uni Eropa menyebut tidak ada pembatasan impor minyak sawit sebagai bahan campuran biofuel dan pasar benua biru tetap terbuka untuk impor minyak sawit.