Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan kenaikan tarif maskapai penerbangan telah memukul industri perhotelan. Kebijakan maskapai tersebut telah menyebabkan tingkat hunian (okupansi) hotel anjlok hingga 20% menjadi 30%-40%.
Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani menyatakan pengusaha meminta penyesuaian harga tiket penerbangan domestik yang naik hingga 40%. "Kami merasa terpukul karena kenaikan harga tiket yang signifikan dan mendadak," kata Hariyadi di Jakarta, Senin (11/2).
Dia juga menyebut Garuda Indonesia dan Lion Air terindikasi kartel dalam penetapan harga.
PHRI pun meminta pemerintah melakukan dua hal untuk menggairahkan sektor wisata. Alasannya, pariwisata merupakan salah satu sektor yang diandalkan sebagai kontributor ekonomi Indonesia pada masa depan.
(Baca: Kenaikan Tarif Tiket dan Bagasi Pesawat Bisa Jadi Bumerang Maskapai)
Pertama, biaya avtur yang sangat tinggi tidak dibebankan kepada konsumen. Sebab, pembelian avtur maskapai penerbangan telah dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekitar 10%.
PPN itu menyebabkan yang kemudian menyebabkan biaya penerbangan menjadi lebih mahal. Alhasil, avtur yang dibayar untuk penerbangan domestik lebih mahal 20% daripada bahan bakar rute internasional.
Hariyadi juga menyarankan supaya Pertamina tidak memonopoli penjualan avtur dalam negeri. Sehingga, perusahaan maskapai lokal lainnya bisa ikut berkompetisi hingga berdampak pada harga tiket yang lebih murah.
Kedua, pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama untuk maskapai penerbangan regional untuk rute penerbangan antardaerah. "Scoot atau Jetstar bisa mendapatkan kesempatan untuk rute yang pemerintah anggap tidak adil dari segi harga," katanya.
Penurunan okupansi hotel juga menggerus sektor lain yang mendukung pariwisata. Contohnya, sektor kuliner dan ekonomi kreatif yang bergantung kepada penjualan produk untuk wisatawan.
(Baca: KPPU Periksa Maskapai Penerbangan terkait Dugaan Kartel Tarif Pesawat)
Dengan berbagai kondisi tersebut, dia pun memperkirakan tingkat okupansi kamar hotel berbintang pada tahun ini kemungkinan stagnan di kisaran 55%, sama seperti tahun lalu. Sementara, tingkat okupansi hotel berbintang pada 2017 bisa mencapai 57%.
Adapun jumlah kamar hotel berbintang tahun ini bisa mencapai 350 ribu unit dan hotel nonbintang sebanyak 310 ribu unit. Sejalan dengan turunnya tingkat okupansi, jumlah penambahan kamar pada tahun ini pun juga tercatat hanya sekitar 20 ribu hingga 25 ribu kamar, sedikit lebih rendah dari realisasi tahun 2018 yang mencapai 28 ribu kamar.
Menurut Hariyadi, penambahan secara signifikan hanya akan terjadi pada wilayah yang masih kekurangan kamar. "Kalau masalah tiket mahal terus terjadi, tingkat okupansi kamar bisa jauh di bawah 55%, mungkin sekitar 40%," katanya lagi.
Kebijkan maskapai penerbangan yang menaikkan harga tiket pesawat juga menarik perhatian pemerintah. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengungkapkan sudah meminta tim khusus membahas masalah tiket maskapai penerbangan ke Kementerian Perhubungan sejak 24 Januari 2019. Fenomena itu membuat rugi seluruh sektor yang berkaitan dengan pariwisata.
(Baca: Pemerintah Kaji Aturan Batas Atas Tarif Bagasi Maskapai Murah)
Arief pun mencontihkan, seperti tingkat okupansi di Lombok yang sejak awal tahun hanya sekitar 30%. Begitu juga pada daerah wisata lain seperti Riau dan Batam. "Dampak terbesar itu terasa untuk wisatawan nusantara, pengaruhnya ke seluruh Indonesia," ujarnya.
Dia pun optimis ada jumlah wisatawan dan okupansi hotel akan kembali meningkat pada musim liburan. Namun di luar faktir musim libur, pelaku usaha juga dinilai harus memiliki strategi untuk menjaga keterisian kamar hotel.
Contohnya, promosi kamar hotel untuk akhir pekan di kota bisnis dan diskon harga kamar untuk hari tengah pekan terjadi di kota liburan. Sebab, Jakarta dan Bali memiliki perbedaan karakteristik pengunjung.
Menuurt Arief, tingkat okupansi kamar hotel pada 2018 mencapai 55% untuk hotel berbintang dan sebesar 50% untuk hotel nonbintang.