PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) memanfaatkan analisis big data untuk mendeteksi fraud, memperluas penetrasi bank, hingga merilis produk fintech bernama Pinang. Big data menjadi salah satu strategi BRI untuk berkompetisi dengan perusahaan fintech yang tumbuh subur di Indonesia.
Direktur Teknologi Informasi dan Operasi BRI Indra Utoyo mengatakan, big data mengelola risiko dengan lebih efisien. "Setelah kasus skimming beberapa waktu lalu, kami menggunakan machine learning untuk mengetahui anomali transaksi," kata Indra dalam diskusi 'Data Driven Indonesia' di kantor Wantiknas, Jakarta, Selasa (2/4).
Pada Maret 2018, 33 nasabah BRI di Kediri, Jawa Timur melaporkan dana di rekening tabungannya dibobol orang. Nilai kerugian akibat pembobolan rekening tersebut mencapai Rp 145 juta. Pelaku pembobolan menggunakan metode skimming untuk mencuri data dari kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) nasabah BRI.
Menurut Indra, bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan sehingga jika sampai terjadi kecurangan (fraud), reputasi bank akan rusak. Analisis big data mampu mengantisipasi hal ini berdasarkan data perilaku nasabah. Jadi jika ada transaksi yang di luar kebiasaan nasabah, sistem BRI bisa dengan cepat mendeteksinya.
BRI juga menggunakan big data untuk mempercepat penilaian kredit (credit scoring) dan verifikasi secara digital. Hal ini diterapkan pada produk fintech Pinjaman Tenang (Pinang) yang diluncurkan anak usahanya, PT BRI Agro Tbk. Persetujuan kredit untuk nasabah Pinang bisa dilakukan dalam waktu sepuluh menit. Plafon pinjaman ini adalah Rp 20 juta sedangkan tenor pinjaman satu bulan hingga 12 bulan.
Sejak diluncurkan 23 Februari lalu, aplikasi Pinang telah diunduh oleh lebih dari 10 ribu pengguna di Google Playstore. BRI Agro menargetkan dapat menyalurkan kredit Rp 375 miliar melalui Pinang hingga akhir tahun ini.
(Baca: OJK: Perusahaan Fintech Terfokus di Jawa, Belum ke Sulawesi)
Perbankan Bersaing dengan Fintech
Pemanfaatan big data merupakan hal yang tak terhindarkan di era disrupsi teknologi. Indra mengatakan, perusahaan fintech unggul dari sisi kecepatan pencairan kredit dibandingkan dengan perbankan berkat pemanfaatan big data.
Ia mencontohkan, perusahaan fintech peer to peer lending (P2P) Akulaku memiliki tim analis data sebanyak 240 orang sedangkan BRI tidak sebanyak itu. Padahal, BRI memiliki jumlah cabang dan karyawan yang sangat besar di seluruh Indonesia.
BRI juga memanfaatkan data untuk mendapatkan agen BRILINK. Analisis big data menghasilkan rekomendasi nasabah mana saja yang berpotensi menjadi agen BRILINK. Analisis dilakukan berdasarkan beberapa variabel, misalnya seberapa jauh lokasi agen dengan aktivitas masyarakat, jarak dengan kantor unit atau cabang BRI terdekat, aktivitas finansial, dan densitas agen di wilayah tersebut. Hal ini mempercepat BRI menjangkau daerah-daerah yang belum tersentuh agen perbankan.
Indra menyatakan, penggunaan big data ke depan akan lebih masif lagi di berbagai sektor. Di bidang pemerintahan, big data dapat digunakan untuk menghasilkan kebijakan yang lebih efektif dan efisien. "Dengan mengombinasikan data arus modal dan telekomunikasi, pemerintah bisa mendeteksi daerah mana saja yang paling tepat untuk dibangun infrastruktur," katanya.
(Baca: Telisik Kuasa Alibaba di Lazada: Teknologi, Logistik hingga Pembayaran)