Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) berharap, perusahaan teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) dapat berpartisipasi dalam program pemulihan ekonomi, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, keinginan ini terganjal regulasi.
Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Hanung Harimba Rachman mengatakan, ada beragam stimulus untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di tengah pandemi corona. Bentuknya berupa restrukturisasi pinjaman, subsidi bunga hingga perluasan KUR.
Program KUR diatur melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan KUR. Selain itu, tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 180 tahun 2017 tentang tata cara pembayaran subsidi bunga untuk KUR.
Berdasarkan regulasi tersebut, pemerintah menunjuk bank yang akan menyalurkan KUR. "Saat ini, fintech belum dimungkinan untuk menyalurkan stimulus program pemerintah, karena terhalang regulasi," kata Hanung dalam seminar bertajuk ‘Peran Fintech Lending dalam Akselerasi Penyaluran Stimulus Program Pemulihan Nasional’, Kamis (3/9).
Selain regulasi, keinginan fintech lending untuk menyalurkan KUR terhambat persoalan pertanggungjawaban dana. "Dananya dari pemerintah. Yang terpenting itu dananya dipertanggungjawabkan," ujar Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riswinandi.
Di satu sisi, pengalaman masing-masing penyelenggaran fintech lending berbeda. "Misalnya, yang berizin dulu yang dilibatkan. Kemudian evaluasi. Mungkin teknologi bisa ter-cover, tetapi kredit perlu kehati-hatian," kata Riswinandi.
Sebagaimana diketahui, ada fintech lending yang terdaftar di OJK. Namun, ada juga yang sudah mendapatkan izin. Kendati begitu, perusahaan tetap bisa beroperasi sepanjang sudah terdaftar di OJK.
Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri menilai, fintech lending bisa terlibat dalam program pemulihan ekonomi dengan cara kolaborasi data terkait UMKM. Apalagi, ketidakcocokan data menjadi permasalahan pemerintah dalam menyalurkan bantuan selama ini.
"Keuntungan fintech lending ini data, maka perlu kolaborasi dengan pemerintah. Bantuan ini kan butuh data," ujar Pria yang juga menjabat sebagai Dewan Penasihat AFPI.
Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menambahkan, fintech lending dapat memanfaatkan pusat data (pusdafil) atau Fintech Data Center (FDC) untuk menilai UMKM mana yang paling membutuhkan bantuan. Platform ini memiliki informasi terkait perkembangan bisnis hingga Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Pusdafil hadir sejak awal tahun ini. Setidaknya, 142 anggota AFPI telah terintegrasi dengan pusat data ini per awal Agustus. Para anggota dapat memanfaatkan FDC ini untuk meminimalkan risiko kredit macet.
Dengan keterlibatan 142 anggota tersebut, FDC memuat 25 juta profil peminjam dari berbagai segmen, termasuk UMKM. Adrian optimistis, fintech lending mampu meningkatkan efisiensi dalam upaya membantu UMKM yang terkena dampak Covid-19.
“Harapannya, dapat official endorsement dari pemerintah untuk berperan serta dalam pemulihan ekonomi nasional," katanya. "Kami bisa kolaborasi dengan bank yang ditunjuk, atau program channeling lainnya, dari sisi credit scoring.”
Berdasarkan data OJK, ada 161 penyelenggara fintech lending yang terdaftar. Sebanyak 33 di antaranya sudah memiliki izin.
Mereka telah menyalurkan pinjaman total Rp 116,7 triliun. Pinjaman yang masih berjalan atau outstanding mencapai Rp 11,94 triliun per Juli.
Rekening peminjam (borrower) fintech lending mencapai 26 juta. Sedangkan pemberi pinjaman (lender) sebanyak 663 ribu.
AFPI memproyeksikan, penyaluran pembiayaan melalui fintech lending mencapai Rp 61 triliun selama tahun ini saja. Angka itu turun dibandingkan perkiraan awal, karena adanya pandemi virus corona. Meski begitu, target ini lebih tinggi dibandingkan realisasi tahun lalu yang hanya Rp 58 triliun.