Lampu Kuning Lonjakan Kredit Macet Fintech Pembiayaan

Ho Yeow Hui/123rf
Ilustrasi. Kredit macet fintech lending melonjak karena pandemi corona berdampak terhadap pendapatan peminjam.
Penulis: Desy Setyowati
21/9/2020, 13.50 WIB

Kredit macet atau tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman di atas 90 hari (TWP 90) layanan teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) melonjak menjadi 7,99% per Juli lalu. Peneliti melihat kondisi ini mulai mengkhawatirkan, sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan masih wajar.

Juru bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan, kredit macet fintech lending melonjak karena pandemi corona berdampak terhadap pendapatan peminjam. “Peningkatannya masih dalam batas kewajaran,” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (21/9).

Alasannya, risiko pendanaan melalui fintech lending memang tinggi. Oleh karena itu, bunganya juga lebih tinggi dibandingan perbankan.

Meski begitu, para  pemberi pinjaman diimbau memanfaatkan fasilitas asuransi kredit yang disediakan oleh beberapa penyelenggara fintech lending. Ini bertujuan meminimalkan risiko pendanaan di tengah pandemi Covid-19.

OJK berharap para penyelengara dapat memaksimalkan sistem pemeringkat kredit atau credit scoring dan memitigasi risiko yang muncul akibat pandemi virus corona. Secara umum, regulator masih optimistis bahwa layanan fintech lending menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan.

Sedangkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai, kredit macet menyentuh 7,99% mulai mengkhawatirkan, terutama bagi pemberi pinjaman. “Jika kesulitan mendapatkan investor baru, keberlangsungan bisnis fintech lending bisa terancam. Kecuali ada super investor,” ujar dia.

Meski begitu, nilai penyaluran pinjaman melalui penyelenggara fintech lending terus meningkat, sebagaimana Databoks berikut:

Namun pertumbuhan penyaluran pinjaman secara tahunan (year on year/yoy) terus menurun. Pertumbuhannya secara berurutan sejak Januari hingga Juli yakni 239,85%, 225,58%, 208,83%, 186,54%, 166,03%, 153,23%, dan 134,91%. Padahal nilainya bisa mencapai 440,61% pada Juli 2019.

Meski pertumbuhannya terus menurun, Nailul menilai bahwa nilai pinjaman yang terus meningkat itu menunjukkan bahwa layanan pinjaman online tetap diminati.

Berdasarkan data OJK, jumlah peminjam meningkat dua kali lipat lebih dibandingkan Juli 2019 yang hanya 11,4 juta, kini menjadi 26,6 juta. Sedangkan jumlah pemberi pinjaman naik tipis dari 518.640 menjadi 663.865.

Di satu sisi, tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman di bawah 90 hari (TKB 90) terus menurun sejak awal tahun ini. Ini artinya keterlambatan peminjam membayar cicilan atau TWP 90 meningkat, sebagaimana terlihat pada Databoks di bawah ini:

Katadata.co.id sudah meminta tanggapan kepada Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah dan Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Tumbur Pardede terkait meningkatnya kredit macet. Namun belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.

Tumbur sempat menjelaskan perihal TWP 90 yang terus meningkat hingga mencapai 6,1% per Juni. "Angka itu wajar karena kondisi aktual di masyarakat,” kata Tumbur kepada Katadata.co.id, bulan lalu (19/8).

Ia juga mengklaim bahwa pemberi pinjaman masih percaya untuk berinvestasi di platform fintech lending. Ini karena penyelenggara berupaya meyakinkan lender untuk menyalurkan kredit, meski ada pandemi Covid-19.

Selain itu, beberapa fintech lending mendapatkan pendanaan di tengah pandemi virus corona. "Itu merangsang kepercayaan para pemberi pinjaman," kata Tumbur. 

Penyelenggara juga mengandalkan pusat data yang disebut pusdafil untuk memitigasi risiko kredit macet. Sejauh ini, ‘alat’ yang juga dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) itu telah menjaring 26 juta data peminjam.

Pusdafil bisa memberikan gambaran terkait calon peminjam. Anggota AFPI membagiakn data berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) peminjam dan riwayat pembayaran peminjam, melalui pusdafil

Calon peminjam dengan NIK sekian misalnya, mengajukan pembiayaan di platform A. Penyelenggara platform A dapat mengetahui calon peminjam tersebut sudah meminjam di mana saja, dan bagaimana pembayarannya.

"Akan terlihat, apakah masih mempunyai pinjaman atau tidak. Statusnya (pembayaran)," ujar Tumbur, beberapa waktu lalu (7/9). Data itu dapat memberikan gambaran terkait credit scorring yang diklaim lebih akurat.

Menekan Dampak Pandemi Corona

Selain kredit macet yang melonjak, penyaluran pinjaman oleh fintech lending semakin ketat. Nilai pinjaman yang masih berjalan atau oustanding pun terus menurun sejak Maret.

Nilainya secara berurutan sejak Maret hingga Juli yakni Rp 14,79 triliun, Rp 13,75 triliun, Rp 12,86 triliun, Rp 11,77 triliun, dan Rp 11,94 triliun.

Kuseryansyah pun sempat mengatakan, proyeksi penyaluran pinjaman melalui fintech lending turun dari awalnya Rp 86 triliun menjadi Rp 61 triliun pada akhir tahun ini. Oleh karena itu, AFPI berharap pemerintah melibatkan penyelenggara dalam program pemulihan ekonomi nasional, utamanya dalam memberikan pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Hal itu bertujuan agar penyaluran pembiayaan oleh fintech lending, terutama kepada UMKM tetap meningkat. “Misalnya jika pemerintah menempatkan dana sebesar Rp 10 triliun, itu bisa kami gunakan untuk berpartisipasi dalam pemulihan ekonomi. Bantuan ini juga menjadi jalan survival bagi fintech lending," kata Kuseryansyah, beberapa waktu lalu (2/9).

Cara lainnya, AFPI berharap bisa ikut menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, keinginan ini terganjal regulasi.

Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Hanung Harimba Rachman mengatakan, ada beragam stimulus untuk UMKM di tengah pandemi corona. Bentuknya berupa restrukturisasi pinjaman, subsidi bunga hingga perluasan KUR.

Program KUR diatur melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan KUR. Selain itu, tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 180 tahun 2017 tentang tata cara pembayaran subsidi bunga untuk KUR.

Berdasarkan regulasi tersebut, pemerintah menunjuk bank yang akan menyalurkan KUR. "Saat ini, fintech belum dimungkinan untuk menyalurkan stimulus program pemerintah, karena terhalang regulasi," kata Hanung.

Riset dari Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) pun menunjukkan, 69% perusahaan fintech mengaku terkena dampak pandemi corona. Sebanyak 2% anggota memberlakukan tindakan cuti tanpa dibayar dan memotong gaji pegawainya.

Lalu 26% fintech menunda ekspansi bisnis, sementara 9% lainnya mengubah model bisnis atau pivot. Kemudian 9% anggota melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebagian besar atau 43% memilih untuk memperkuat arus kas.

Dari sisi fintech lending, beberapa penyelenggara seperti Modalku, Akseleran, Investree, KoinWorks hingga UangTeman memperketat penilaian pinjaman. Hal ini untuk meminimalkan risiko kredit macet melonjak.

KoinWorks bahkan merambah bisnis investasi untuk menekan dampak pandemi terhadap operasional perusahaan. Startup ini meluncurkan tiga layanan baru yang diminati dan dibutuhkan saat pandemi Covid-19. Ketiga produk baru itu yakni KoinGold, KoinBond, dan KoinGaji.

"Kami melihat, ketiga produk itu cocok diluncurkan saat pandemi," kata Co-Founder sekaligus CEO KoinWorks Benedicto Haryono kepada Katadata.co.id, bulan lalu (27/8).

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan