Susul RI, Tren Bisnis Fintech Tumbuh Pesat di Thailand dan Vietnam

Jakub Jirsak/123rf
Ilustrasi
Penulis: Desy Setyowati
25/11/2020, 17.00 WIB

Teknologi finansial (fintech) merupakan salah satu dari tiga sektor startup yang diincar investor saat pandemi corona. Bisnis ini juga menjadi incaran unicorn Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di tengah ketatnya persaingan, potensi konsolidasi di sektor ini terbuka lebar.

Laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2020’ menunjukkan, pendanaan ke startup fintech di Asia Tenggara melonjak signifikan dari 2017 ke 2018. Nilainya meningkat lagi hingga mencapai US$ 1,7 miliar pada tahun lalu.

Pada paruh pertama tahun ini, nilai investasi ke sektor fintech melampaui periode yang sama 2019. “Ke depan, investor semakin selektif,” kata Managing Director Investment Temasek Connie Chan dalam acara Pekan Fintech Nasional 2020, Rabu (25/11). “Akan ada kalibrasi ulang menuju pertumbuhan yang berkelanjutan dan menguntungkan.”

Pendanaan kepada startup fintech di Asia Tenggara (e-Conomy 2020)

Perusahaan investasi asal Singapura itu menilai, peluang sektor fintech sangat besar. Pertama, karena hampir separuh dari penduduk Asia Tenggara atau sekitar 200 juta belum memiliki rekening bank, tetapi paham layanan digital.

Sedangkan jumlah penduduk unbanked di Indonesia pada 2019 dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Kedua, pandemi Covid-19yang mengakselerasi adopsi penggunaan layanan fintech. Laporan e-Conomy 2020 menunjukkan, satu dari tiga konsumen di regional baru menggunakan layanan digital karena virus corona.

Selain Vietnam dan Thailand, mayoritas konsumen baru berasal dari kawasan non-metro atau perdesaan. Angkanya tertera pada bagan berikut:

Konsumen baru layanan digital di Asia Tenggara berdasarkan wilayah (e-Conomy 2020)

Terakhir, banyaknya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang belum tersentuh layanan keuangan. Peluang di Indonesia bahkan sangat besar, dengan 64 juta lebih UMKM.

Riset Euromonitor International 2018 menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia, India, dan Filipina lebih suka berbelanja di toko kelontong, sebagaimana tecermin pada Databoks berikut:

Selama pandemi virus corona, Google, Temasek, dan Bain and Company mencatat bahwa bisnis fintech tumbuh di hampir semua kategori, kecuali pembiayaan (lending). Rinciannya dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Pertumbuhan bisnis fintech Asia Tenggara per kategori (e-Conomy 2020)


Sedangkan peluang pertumbuhan dan tantangan per kategori dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:

Pembayarano    Riset Kantar menunjukkan, rata-rata jumlah transaksi tunai oleh konsumen menurun dari 48% sebelum Covid-19 menjadi 37%. Sedangkan dompet digital (e-wallet) naik dari 18% menjadi 25%o    UMKM masif menggunakan layanan ini saat pandemio    Nilai transaksi atau gross transaction value (GTV) sektor ini diprediksi tembus US$ 1,2 triliun pada 2025
Remitansio    Adopsi pengiriman uang secara online melonjak hampir 2 kali lipat saat pandemio    Nilai transaksinya diramal 40% dari total nilai pengiriman uang di Asia Tenggara pada 2025
Pembiayaano    Lonjakan rasio kredit macet (NPL) membuat sebagian pemberi pinjaman (lender) goyaho    Seiring berkembangnya basis pelanggan pinjaman online dan adopsi digital oleh pelaku UKM, sektor ini berpeluang tumbuh berkelanjutano    Ada perbaikan dari sisi inovasi dan infrastruktur
Asuransio    Permintaan layanan asuransi jiwa dan kesehatan secara online meningkato    Permintaan layanan asuransi umum melambat. Begitu juga dengan asuransi perjalanan dan kendaraano    Daya tarik asuransi mikro meningkato    Kemitraan antara perusahaan asuransi mapan dengan platform berbasis konsumen mendorong adanya produk inovatifo    Pemain mapan dipaksa untuk mendigitalisasikan bisniso    Produk baru disesuaikan dengan saluran distribusi (online atau offline)
InvestasiManajer investasi yang mapan memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan pasar online. Mereka dapat mengalihkan keterlibatan pengguna secara online (atau melalui omni-channel)

Sumber: e-Conomy 2020

Oleh karena itu, fintech merupakan salah satu sektor, selain pendidikan (edtech) dan kesehatan (healthtech), yang diincar oleh investor selama pandemi Covid-19 dan setelahnya. Bahkan, Connie menilai bahwa fintech lending masih diminati oleh investor, meski pertumbuhannya melambat tahun ini.

Akan tetapi, penanam modal mulai berfokus mencari startup yang bisnisnya stabil dan bisa tumbuh berkelanjutan.  “Bakar uang pada awal bisnis diperlukan. Tapi perlu membuktikan kemampuan untuk unggul dalam jangka panjang,” kata dia.

Sebelumnya, Partner and Leader, Bain and Company’s Southeast Asia Private Equity Practice Alessandro Cannarsi mengatakan bahwa layanan keuangan digital merupakan sektor yang ‘hot’ dalam ekonomi digital di Asia Tenggara. “Konsumen dan UKM masif mengadopsi layanan ini pada 2020. Peningkatan ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata dia dalam acara virtual pemaparan e-Conomy 2020, Selasa (24/11).

Meskipun secara nilai transaksi atau GTV masih kalah jauh dibandingkan tunai, pertumbuhannya sangat cepat saat pandemi corona. Angkanya tertera pada bagan di bawah ini:

Pertumbuhan bisnis fintech pembayaran dan remitansi di Asia Tenggara (e-Conomy 2020)

Direktur Investasi BRI Ventures  William Gozali sepakat bahwa fintech merupakan sektor incaran investor. Berdasarkan data Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo), 25% dari 32 perusahaan rintisan yang meraih pendanaan per kuartal II merupakan fintech.

Saat ini, menurutnya investor memang lebih berhati-hati dalam berinvestasi. Namun, potensi startup, khususnya di Indonesia dinilai masih besar. “Tren adopsi layanan pembayaran digital semakin kuat dan masif,” kata William dalam acara virtual Pekan Fintech Nasional, Rabu (25/11).

Infografik_Startup tetap banjir pendanaan saat pandemi (Katadata)

Selain itu, ia melihat bahwa startup jumbo di Tanah Air mulai menyasar kota atau tingkat (tier) dua, tiga, dan seterusnya. “Saya kira adopsi layanan digital masih dalam kategori rendah, sehingga perusahaan akan mencari pasar lain,” kata dia.

Bisnis Fintech Incaran Para Unicorn

Selain investor, para unicorn mengincar pasar fintech. Google, Temasek, dan Bain and Company pun mencatat hampir semua startup jumbo di regional merambah sektor ini.

Startup di sektor lain di Asia Tenggara merambah bisnis fintech (e-Conomy 2020)


Induk Shopee, Sea Group misalnya, mengajukan lisensi bank digital di Singapura. Selain itu, menyediakan dompet digital ShopeePay.

Lalu, Grab memiliki GrabPay di negara mereka beroperasi, kecuali Indonesia. Di Tanah Air, Grab menggandeng OVO dan LinkAja. Pesaingnya, yakni Gojek juga memperkuat bisnis keuangannya, GoPay.

Sedangkan Tokopedia memiliki perusahaan afiliasi di bidang fintech lending yaitu Dhanapala. Oleh karena itu, Connie Chan menilai bahwa persaingan di sektor layanan keuangan digital cukup ketat.

Ia pun melihat ada potensi konsolidasi di sektor ini ke depan. Berdasarkan laporan e-Conomy 2020, peluang dan tantangan sektor layanan keuangan digital pada era kebiasaan baru atau new normal, sebagai berikut:

Peluang dan tantangan startup layanan keuangan digital saat era 'normal baru' (e-Conomy 2020)

Sebelumnya, Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo mengatakan bahwa peta persaingan fintech pembayaran di Indonesia diwarnai konsolidasi dalam jangka menengah. Dengan begitu, “investor akan mempunyai pilihan untuk investasi di startup yang sudah lebih mature dan mempunyai shortest path to profitability,” ujar dia kepada Katadata.co.id, September lalu (29/9).

Hal senada sempat disampaikan oleh CEO BRI Ventures Nicko Widjaja. Ia menilai, ekosistem industri fintech Indonesia lebih mirip Tiongkok ketimbang Silicon Valley, Amerika Serikat (AS).

“Berkaca dari sana (Tiongkok), sangat masuk akal jika pemain fintech pembayaran Indonesia yang menguasai pangsa pasar lebih kecil, memilih bekerja sama dengan mitra strategis," ujar Nicko kepada Katadata.co.id, Juni lalu (16/6).

Di Negeri Tirai Bambu, tersisa dua pemain fintech pembayaran besar yakni WeChat Pay dan Alipay. Oleh karena itu, menurutnya kabar bahwa OVO dan DANA dalam pembicaraan untuk merger, sangat mungkin terjadi.

Lagi pula, merger akan memperkuat ekosistem di industri fintech. "Jika berkaca ke pasar Indonesia secara spesifik, kunci sukses industri fintech yakni kolaborasi," kata dia.

Sebab, ekosistem sektor fintech pembayaran besar. Layanan yang tersedia pun beragam, mulai dari fungsi gerbang pembayaran (payment gateway), card switching, dan lainnya, yang bersifat end to end.

Berdasarkan riset Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures yang dirilis bulan ini, lanskap strategi ‘exit’ startup di Asia Tenggara sejak 2015 sebagian besar berupa merger dan akuisisi. Target utamanya yakni perusahaan di sektor pembayaran dan manajemen investasi.

Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures memperkirakan, tren merger dan akuisisi meningkat pada 2020 hingga 2023. “Namun fokusnya pada startup asuransi (insurtech) dan penyedia solusi bisnis tahun ini,” demikian dikutip dari situs resmi Dealroom, September lalu (8/9).

Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan