Layanan pembayaran dan pengiriman uang atau remitansi secara digital terdongkrak pandemi Covid-19. Namun, pelaku usaha di sektor ini menghadapi setidaknya empat tantangan yakni biaya tinggi, lambatnya pengiriman, proses yang rumit, dan transparansi.
Survei terbaru dari perusahaan teknologi remitansi global, Wise menunjukkan bahwa 70% responden mengeluhkan biaya tinggi saat mengirim uang ke luar negeri. Kemudian, 77% menilai proses transfer lambat, khususnya dalam menunggu kiriman uang tiba di negara tujuan.
Sebanyak 75% merasa tidak nyaman, karena harus bepergian ke kantor fisik selama jam kerja dan proses verifikasi identitas yang lama jika mengirimkan uang ke luar negeri. Lalu, 71% mengeluhkan rendahnya transparansi.
“Biaya, kecepatan, transparansi itu menjadi tantangan nyata dan harus selalu diatasi,” kata Head of Indonesia Expansion Wise Elian Ciptono saat wawancara dengan Katadata.co.id, Jumat (6/4).
Padahal, volume remitansi di Indonesia mencapai US$ 5 miliar pada 2019. Angka ini didorong oleh pertumbuhan beberapa segmen seperti pendidikan. Data ICF menunjukkan, jumlah pelajar yang belajar di luar negeri meningkat 30% dalam satu dekade terakhir.
Katadata.co.id pun berbincang-bincang dengan Elian terkait potensi dan tantangan layanan remitansi di Indonesia.
Bagaimana kinerja bisnis Wise, terutama di Indonesia selama pandemi Covid-19?
Banyak pengguna yang mencari layanan remitansi lebih mudah secara digital. Survei kami menunjukkan, 90% konsumen ingin layanan yang lebih cepat, transparan, murah, dan mudah.
Berkat dorongan pandemi itu, bisnis kami tumbuh positif dari segala matrik, baik jumlah konsumen maupun volume proses.
Layanan apa yang diminati di Indonesia?
Di Indonesia, baru remitansi individual yang kami tawarkan sejak 2019. November tahun lalu, kami meluncurkan transfer outgoing. Ini tumbuh positif, dan responsnya baik.
Paling banyak pengiriman uang ke negara mana?
Data Bank Dunia menunjukkan, tujuan populer meliputi Tiongkok, Thailand, Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat (AS). Ini sejalan dengan data kami.
Wise hadir di 80 negara. Di Asia tenggara sudah hadir di Malaysia dan Singapura. Bagaimana potensi pengiriman uang dari Indonesia ke negara tetangga, dan sebaliknya?
Kami melihat di Indonesia potensial. Namun, ada tantangan juga yakni 90% konsumen menginginkan layanan remitansi berbiaya lebih murah, proses tidak terlalu kompleks, dan cepat.
Maka, kami menyediakan jasa layanan digital penuh untuk remitansi dan lebih murah. Kami memberi layanan hampir 2,5 kali lipat lebih murah.
Di Indonesia, kami melihat peluang dari sisi kebutuhan konsumen. Di sisi lain, industri remitansi terus tumbuh. Digitalisasi lebih masif, karena banyak pelanggan menggunakan layanan digital dibanding fisik.
Wise mengklaim layanan 2,5 kali lebih murah, bagaimana caranya?
Kami menggunakan local banking network sendiri. Kenapa bisa lebih murah? Kami mengembangkan jaringan sendiri, tidak memiliki banyak middle-man atau broker. Kalau konsumen mau kirim ke luar negeri, kami proses secara internal menggunakan sistem.
Dengan begitu, layanan bisa lebih cepat, instan, dan murah. Jadi hampir 2,5 kali lipat layanan lebih murah.
Dibandingkan platform lain seperti fintech dan bank digital, apa keunggulan Wise dan bagaimana strategi menggaet pengguna?
Saat ini banyak bank digital. Ini tren positif. Industri ini menjadi besar dan skalanya masif. Kami berpikir bahwa semakin banyak kompetitor, apalagi yang paham konsumen, maka semakin cepat penyelesaian tantangan di sektor remitansi.
Biaya, kecepatan, transparansi itu menjadi tantangan nyata dan harus selalu diatasi. Kalau memenuhi itu, konsumen akan tetap berpihak. Semakin banyak digital bank, kami tetap welcome.
Tren layanan remitansi akan seperti apa?
Harus open kolaborasi dalam menghadapi tantangan. Saya yakin industri ini akan tumbuh positif, karena data makro menunjukkan begitu.
Ada dua tren ke depan. Pertama, volume terus tumbuh. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa angka remitansi terus tumbuh setiap tahun. Pada 2019 mencapai US$ 5 miliar.
Kedua, digitalisasi akan berkelanjutan. Studi Bain & Company, 40% pengguna menggunakan layanan digital tahun lalu. Hampir 90% dari mereka akan terus menggunakan layanan digital.
Jadi digitalisasi akan tetap masif. Ini sejalan dengan yang kami tawarkan. Industri ini sangat potensial.
Tantangan industri remitansi?
Tantangannya, apakah pelaku industri bisa menjawab kemauan konsumen atau tidak? Sebanyak 90% menginginkan layanan lebih cepat dan transparansi biaya.
Mereka sadar tidak punya informasi cukup mengenai nilai tukar, kemampuan tracing transfer, dan lainnya. Bagaimana industri menjawab tantangan ini.
Target Wise tahun ini?
Kami belum bisa breakdown target. Tapi yang jelas, kami akan investasi ke teknologi untuk menjawab kebutuhan konsumen.