Jumlah penyelenggara teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) di Indonesia terus menyusut. Startup di sektor ini diprediksi marak merger tahun ini.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah fintech lending terdaftar mencapai 164 pada 2019. Jumlahnya turun menjadi 152 pada akhir tahun lalu.
Per awal bulan ini (8/9), jumlah fintech lending hanya 107. OJK mencatat, ada 42 penyelenggara yang mengembalikan tanda daftar sejak awal tahun.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan mengatakan, ada empat alasan startup fintech lending mengembalikan tanda daftar. Keempatnya yakni:
1. Bisnis kurang berkembang
Bambang mengatakan, model bisnis 42 fintech lending itu tak mampu mendapatkan minat atau antusiasme dari pengguna, baik pemberi pinjaman (lender) maupun peminjam (borrower). "Alhasil, pendapatan mereka kecil dan tak mampu menopang biaya," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (21/9).
2. Sistem elektronik kurang andal
Kondisi itu membuat penyelenggara fintech lending tidak mampu memproses perjanjian atau underwriting secara baik. Sistem yang digunakan juga tak dapat menghasilkan penilaian kredit secara akurat.
Padahal, Bambang menilai bahwa kekuatan fintech lending terletak pada pemanfaatan teknologi informasi, khususnya kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan mahadata (big data).
3. Permodalan
Puluhan penyelenggara fintech lending dinilai tidak lagi mampu beroperasi karena kehabisan modal. "Banyak penyelenggara bermodal kecil," kata Bambang.
Sedangkan rata-rata dalam tiga tahun beroperasi, mayoritas dari penyelenggara fintech lending itu belum mampu menghasilkan laba. Alhasil, modalnya terus tergerus.
4. Tidak mampu memenuhi persyaratan perizinan
Persyaratan perizinan untuk fintech lending diatur dalam ketentuan yang berlaku. OJK menambah sejumlah persyaratan, seperti uji kelayakan (fit and proper test) bagi pengurus, peningkatan modal disetor hingga ekuitas minimum.
Penambahan persyaratan itu bertujuan meningkatkan kualitas bisnis dan layanan fintech lending. Oleh karena itu, otoritas akan mengatur penyertaan modal inti, yang masuk dalam rancangan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77.
Dalam beleid itu, OJK meminta penyelenggara fintech lending meningkatkan jumlah ketentuan modal inti yang harus disetor dari minimal Rp 2,5 miliar menjadi Rp 15 miliar. Ini harus dipenuhi ketika mengajukan perizinan.
Selain itu, OJK melakukan pembatasan pendaftaran atau moratorium fintech lending pada akhir tahun.
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda mengatakan, dari sisi makro, penyusutan jumlah fintech lending memperpanjang waktu industri dalam memenuhi permintaan kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Dari sisi mikro, persaingan fintech lending akan terfokus pada segelintir pemain. "Ini membuka keran merger dan akusisi antar-pemain ataupun membuka peluang masuknya konglomerasi ke bisnis ini," kata Nailul.
Sejauh ini, setidaknya ada delapan konglomerasi Indonesia yang merambah fintech lending. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Konglomerasi | Fintech Lending |
Grup Astra lewat Astra Welab Digital Arta | Maucash |
Grup Djarum melalui unit usaha BCA, Central Capital Ventura | KlikACC |
Julo | |
Grup Mayapada | Pohon Dana |
Grup Sinar Mas | Oriente Mas Sejahtera (Finmas) |
Danamas | |
PinjamanGo | |
Modalku (lewat SMDV) | |
Grup Lippo masuk melalui OVO | Taralite |
Grup Triputra lewat Triputra Investindo Arya | Batumbu |
Grup Kawan Lama | DanaKini |
Grup Salim | Pede.id |
Sumber: Data diolah Katadata.co.id
Nailul mengatakan, konsolidasi fintech lending memang akan mendatangkan nilai valuasi yang lebih besar. Pendanaan dari investor terhadap fintech lending juga bakal mudah masuk.
"Namun apabila semakin mengerucut ke beberapa pemain, bisa menimbulkan persaingan usaha tidak sehat," katanya.
Sebelumnya, DSResearch dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga menyebutkan, bahwa hanya 4,9% perusahaan yang menyalurkan pinjaman melebihi Rp 3 triliun. Mereka adalah Kredivo, Pendanaan.com, Uangme, Kredit Pintar, Asetku, Investree, dan Modalku.
Mayoritas fintech menyalurkan di bawah Rp 3 triliun, yakni sebesar 48,6% menyalurkan pinjaman di bawah Rp 50 miliar.
Riset ini dilakukan terhadap 146 fintech lending yang merupakan anggota AFPI pada Oktober 2020 melalui kuesioner online. Responden berasal dari berbagai macam sektor fintech lending, termasuk kredit produktif, konsumtif dan syariah.
Secara keseluruhan penyaluran pinjaman bulanan fintech lending Rp 15,66 triliun pada Juli. Nilainya naik 6% dibandingkan pada bulan sebelumnya (month to month/mtm) yang sebesar Rp 14,79 triliun.
Nilainya meningkat 346% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).