Penyaluran pinjaman online oleh startup teknologi finansial (fintech) resmi mencapai Rp 13,78 triliun per Januari tahun ini. Namun mayoritas kredit diberikan ke peminjam (borrower) di Pulau Jawa.
Nilai pinjaman yang disalurkan oleh fintech tersebut naik 1,32% dibandingkan Desember 2021 Rp 13,6 triliun. Bahkan, melonjak 46,9% dibandingkan Januari 2021.
Per Februari 2022, fintech lending menyalurkan pinjaman kepada 13,56 juta entitas peminjam. Mayoritas atau 10,78 juta di antaranya berasal dari Jawa.
Selain itu, Rp 8,43 triliun pinjaman atau 61,21% diberikan kepada sektor produktif.
Laporan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menunjukkan, 70% penyaluran pinjaman online oleh fintech masih berfokus di Pulau Jawa pada tahun lalu. “Sebanyak 28% dari transaksi ke luar negeri. Hanya 1,9% ke luar Pulau Jawa,” demikian dikutip dari laporan bertajuk Annual Members Survey 2021, Rabu (6/4).
Masing-masing kota di luar Pulau Jawa umumnya menyumbang kurang dari 1% dari total transaksi, kecuali Sumatera Utara (1,8%) dan Bengkulu (1%).
OJK sebenarnya telah mengimbau penyelenggara fintech lending untuk menyalurkan minimal 15% dari total pinjaman di luar Pulau Jawa. Setidaknya 25% disalurkan ke sektor produktif seperti Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) atau pertanian.
Tujuannya, agar fintech lending tak hanya memberikan pinjaman tetapi juga memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
OJK pun menyiapkan aturan yang mendorong fintech lending lebih banyak menyalurkan pinjaman ke luar Pulau Jawa dan sektor produktif. Namun regulasi ini tak kunjung terbit.
Otoritas juga berencana membatasi bank menyalurkan kredit lewat fintech. Tujuannya, mendorong fintech menggaet lebih banyak investor individu.
Sedangkan laporan Aftech menunjukkan, 44% startup fintech lending menginginkan pelonggaran regulasi. Sebanyak 33% membutuhkan insentif dan 22% berharap ada skema pendukung alternatif dari pemerintah.
Meski begitu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sudah menyiapkan tiga strategi untuk menggenjot penyaluran kredit ke luar Pulau Jawa dan sektor produktif. Salah satunya, memperluas kolaborasi dengan korporasi lain terkait pembiayaan bersama alias join financing.
Langkah itu dinilai dapat meningkatkan rasio penyaluran kredit ke sektor produktif.
“Itu terobosannya. Kami melihat dua jenis fintech bisa join financing untuk memenuhi rasio kredit ke sektor produktif dari OJK," kata Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi pada 2020.
AFPI juga menggandeng Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk memperluas penyaluran pinjaman ke luar Jawa.
Adrian menilai, fintech lending unggul dari sisi teknologi dan penilaian risiko kredit (credit scoring). Sedangkan BPD dan BPR memiliki pemahaman lokal dan aspek resiko pada tiap industri di daerah.
Kemudian, asosiasi membuat pusat pengembangan atau hub. "Ada hub Timur dan Barat. Ini untuk meningkatkan engagement dengan ekosistem di sana," ujar Adrian.
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansah menyampaikan, sektor ini menghadapi dinamika dan aturan sejak awal 2021. Salah satunya, ijtima ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan aktivitas pinjaman online (pinjol) haram.
“Kami mengapresiasi DSN MUI yang juga memberikan fatwa tentang produk fintech syariah. Jadi untuk masyarakat dengan preferensi nilai syariah, dapat memilih layanan ini, yang juga merupakan anggota AFPI,” kata Kuseryansah kepada Katadata.co.id, akhir tahun lalu (23/12/2021).
Selain itu, OJK beberapa kali menutup sementara pendaftaran fintech lending sejak awal 2020.