Perusahaan riset Canalys memperkirakan ponsel 5G menguasai setengah dari pasar smartphone global pada 2023. Namun, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum dapat menjamin jaringan internet generasi kelima tersedia dalam tiga tahun, seiring dengan berbagai tantangan yang dihadapi.
“Itu tergantung kesiapan banyak hal seperti ekosistem, penggunaan (usecase) dan monetisasi, frekuensi, dan lainnya,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Ismail kepada Katadata.co.id, Selasa (29/9).
Ia menyebutkan, ada beberapa tantangan yang harus diatasi dalam pengembangan 5G di Indonesia. Pertama, fiberisasi kabel atau upaya memodernisasi jaringan dengan cara menghubungkan BTS melalui jalur fiber.
Untuk itu, perangkat BTS harus diperbarui. Selain itu, peranti pengirim sinyal gelombang mikro (microwave) pada kabel diubah menjadi fiber optik.
Tanpa fiberisasi, kecepatan internet dengan penerapan 5G tidak akan maksimal. “Akan terjadi perlambatan atau bottlenecking di jaringan masing-masing operator, sehingga masyarakat tidak memperoleh manfaat 5G secara maksimal,” katanya.
Ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama dari penerapan 2G hingga 4G. Oleh karena, infrastruktur termasuk jaringan fiber ingin dipersiapkan terlebih dulu sebelum menerapkan 5G. “Fiberisasi ini isu krusial,” kata dia.
Ketiga, frekuensi. Ada tiga spektrum yang dikaji yakni 700 Mhz, 2,6 Ghz, dan 3,5 Ghz.
Frekuensi 700 Mhz dipakai untuk televisi analog. Kementerian mendorong migrasi televisi analog ke digital dalam dua tahun ke depan, supaya penyiarannya menggunakan 112 Mhz.
Lalu 2,6 Ghz digunakan untuk BSS atau radio, sementara 3,5 Ghz untuk FSS atau satelit tetap. Kementerian beberapa kali menguji coba penggunaan 3,5 Ghz untuk 5G, dan hasilnya tidak mengganggu satelit.
Meski begitu, Kominfo akan menguji coba secara konsisten penggunaan 3,5 Ghz untuk 5G awal bulan depan. Pengujian dilakukan sekitar tiga minggu di Telkom University dan ITB.
Kementerian akan melibatkan semua operator seluler dan operator satelit untuk proses uji coba tersebut.
Keempat, mengkaji ekosistem yang tepat untuk menggunakan 5G, salah satunya di kawasan industri. Selain itu, kementerian mengkaji banyak tidaknya perangkat seperti ponsel atau laptop yang menggunakan 5G.
Pengkajian ekosistem diperlukan agar biaya investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan telekomunikasi menjadi lebih murah.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan bahwa biaya untuk fiberisasi sangat besar. “Oleh sebab itu, kolaborasi antara operator seluler dengan penyelenggara jaringan fiber optik merupakan jalan yang harus segera dilaksanakan,” kata dia kepada Katadata.co.id.
Berdasarkan catatan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi atau Bakti Kominfo, fiber optik pada palapa ring mencapai 12.245 kilometer (km) dan Telkom 155 ribu km di seluruh Indonesia. Sedangkan Icon+ memiliki 69 ribu km di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kemudian Moratel 30 ribu km, Biznet 21 ribu km, dan FiberStar 3.400 km di Jawa, Bali, dan Sumatera. PGN Com mempunyai 4 ribu km di Sumatera dan Jakarta. Lalu Lintasarta yang fiber optiknya menjangkau 200 kota di Indonesia.
Group Head Communication XL Axiata Tri Wahyuningsih mengatakan, perusahaan telah melakukan fiberisasi Base Transceiver Station (BTS) sejak 2018. Hingga akhir 2019, setengah dari total 130 ribu BTS sudah difiberisasi. Sekitar 40 ribu di antaranya 4G.
XL Axiata juga berinvestasi mulai dari transmisi, pengalur jaringan (backhaul), dan modernisasi jaringan. Namun terkendala perizinan di daerah terkait fiberisasi BTS. "Perlu sinkronisasi regulasi antara pemerintah pusat dan pemda," kata Tri kepada Katadata.co.id, Februari lalu (7/2).
Selain itu, perusahaan berharap ada insentif bagi operator yang memodernisasi jaringannya.
Hal senada disampaikan oleh Wakil Direktur Utama PT Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah. Salah satu persoalan yang dihadapi operator untuk membangun backhaul bukan pada investasi atau operasional pembangunannya, melainkan perizinan di daerah.
Tri sudah melakukan fiberisasi sejak 2017 secara bertahap. Danny berharap, ada keseragaman dan penetapan retribusi yang terjangkau supaya perusahaan telekomunikasi bisa mempercepat fiberisasi BTS.
Telkomsel juga telah melakukan fiberisasi. Perusahaan berpelat merah ini mengoperasikan lebih dari 209 ribu BTS per awal tahun. Sebanyak 131.499 di antaranya merupakan 3G, sementara 77.501 lainnya 4G.
Cara Mengatasi Tantangan Adopsi 5G
Fiberisasi memang menjadi komponen penting untuk bisa menerapkan 5G. Untuk meminimalkan biaya, Kominfo mengkaji rasionalisasi biaya spektrum untuk e-band dan backhaul v-band.
Pita e atau e-band berada pada rentang frekuensi radio 60 Ghz hingga 90 Ghz atau berada dalam jangkauan spektrum radio EHF. Spektrum ini dinilai cocok untuk menunjang 4G. Sedangkan v-band pada rentang 57 Ghz dan 64 Ghz.
Selain itu, kementerian mengkaji kemungkinan adanya insentif untuk operator seluler yang meningkatkan kapasitas jaringannya. “Kebijakan ini diperlukan untuk mempercepat penetrasi jaringan backhaul yang berkualitas,” Kepala 5G Task Force Indonesia Denny Setiawan, pekan lalu (23/9).
Dari sisi frekuensi, ia menyampaikan bahwa 5G membutuhkan semua jenis lapisan yakni rendah atau 700 Mhz, tengah 2,6 Ghz dan tinggi 3,5 Ghz. Spektrum 700 Mhz untuk memperluas cakupan 5G.
Sedangkan 2,6 Ghz untuk meningkatkan kapasitas internet. Lalu 3,5 Ghz untuk mengurangi latensi atau keterlambatan pengiriman data antarperangkat.
Oleh karena itu, kementerian menata ulang frekuensi (refarming) tersebut. Salah satunya dengan mendorong migrasi televisi analog ke digital, agar 700 Mhz bisa digunakan untuk 5G.
Selain itu, “pemerintah dapat membuka lelang pita frekuensi 5G,” ujar Denny.
Sedangkan untuk meminimalkan biaya pembangunan infrastrukturnya, pemerintah mengatur 5G pada rancangan undang-undang atau RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Di dalamnya akan memuat tentang skema berbagi frekuensi dan infrastruktur.
Kepala Subdit Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat Kementerian Kominfo Adis Alifiawan menjelaskan, investor enggan berinvestasi di infrastruktur pendukung 5G jika regulasinya tidak jelas. Sedangkan Undang-undang (UU) Telekomunikasi perlu diperbarui.
“Aturan telekomunikasi perlu diperbarui. Perlu triple sharing, network sharing, dan paling atas, spectrum sharing,” kata Adis saat konferensi pers virtual, bulan lalu (28/8).
Kontribusi 5G Bagi PDB Indonesia
Berdasarkan studi ITB memperkirakan, penerapan 5G secara agresif dapat menambah produk domestik bruto (PDB) Rp 2.784 triliun pada 2030 dan Rp 3.549 triliun pada 2035. Nilainya sekitar 9,8% terhadap PDB nasional.
“Ini mengasumsikan bahwa semua pita frekuensi tersedia pada akhir 2021,” kata perwakilan LAPI ITB Ivan Samuels, pekan lalu (23/9).
Penerapan 5G juga dapat menciptakan 4,6 juta hingga 5,1 juta peluang kerja pada periode yang sama. Selain itu, meningkatkan produktivitas per kapita Rp 9 juta sampai Rp 11 juta.
“Kami estimasi, implementasi 5G yang agresif dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 3,1% di luar proyeksi pemerintah,” ujar Ivan.
Namun kontribusinya terhadap PDB nasional lebih kecil, jika spektrum frekuensi disiapkan secara bertahap. Dengan asumsi 700 Mhz tersedia 2021, 2,6 Ghz di tahun berikutnya, dan 3,5 Ghz pada 2023.
Kontribusinya diperkirakan hanya Rp 2.802 triliun pada 2030, dan Rp 3.533 triliun pada 2035.
Sedangkan 5G masuk dalam rancangan rencana membangunan jangka menengah Nasional (RPJMN) 2024. ITB memperkirakan, Indonesia kehilangan potensial PDB Rp 1.600 triliun pada 203, jika 5G baru tersedia setelah 2023.