Pengembang aplikasi Muslim Pro, Bitsmedia membantah telah menjual data lokasi pengguna untuk kepentingan militer Amerika Serikat (AS). Perusahaan pun melakukan penyelidikan internal dan meninjau tata kelola data untuk mengusut hal ini.
Senin (16/11) lalu, perusahaan teknologi Motherboard melaporkan bahwa Muslim Pro menjual data lokasi pengguna ke pihak ketiga yang disebut X-Mode. Para pialang data X-Mode kemudian menjual datanya kepada klien, termasuk militer AS.
X-Mode mengatakan, kemitraan dengan militer AS berfokus pada tiga hal. Ketiganya yakni kontra-terorisme, keamanan siber, dan prediksi penyebaran Covid-19 ke depan.
Namun, Muslim Pro membantah menjual data ke militer AS. "Laporan ini tidak benar," kata Bitsmedia dikutip dari Aljazeera, Rabu (18/11).
Perusahaan menegaskan bahwa keamanan data pribadi pengguna merupakan persoalan serius. "Kami berkomitmen untuk melindungi dan mengamankan privasi pengguna," katanya.
Bitsmedia mengklaim selalu mematuhi standar privasi dan peraturan perlindungan data yang paling ketat dalam 10 tahun terakhir. Selain itu, tidak pernah membagikan informasi identitas pribadi apa pun.
Meski begitu, Bitsmedia tetap akan melakukan penyelidikan internal. Selain itu, sudah meninjau kebijakan tata kelola data untuk mengonfirmasi semua data pengguna ditangani dengan benar.
Sedangkan Head of Community Muslim Pro Zahariah Jupary mengakui bahwa perusahaan bekerja sama dengan X-Mode sejak empat pekan lalu. Tetapi, kini perusahaan menghentikan kerja sama itu.
Meski begitu, aplikasi Muslim Pro mendapatkan banyak kecaman di media sosial dan di ulasan toko aplikasi. Beberapa warganet menyatakan sudah mencopot pemasangan aplikasi, karena khawatir keamanan data.
"Ini harus menjadi seruan untuk umat Islam di seluruh dunia tentang seberapa dalam aparat pengawas atau keamanan negara ada dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dengan cara yang paling biasa," kata pengguna Twitter dengan nama akun @Ibn_Asad2, Selasa lalu (17/11).
Warganet juga ramai memakai tagar #MuslimPro untuk mencopot aplikasi Muslim Pro. “Semua orang uninstall @MuslimPro karena menjual informasi ke militer AS," dikutip dari akun Twitter @Cosmetics_, Selasa lalu (17/11).
Di toko aplikasi baik App Store maupun Google Play Store, pengguna meninggalkan ulasan negatif untuk aplikasi MuslimPro. Selain itu, mengingatkan orang lain untuk tidak mengunduhnya.
Dewan Agama Islam di Singapura atau Muis pun meminta komunitas muslim sebagai pengguna untuk berhati-hati. "Hati-hati saat menggunakan aplikasi semacam itu," kata juru bicara Muis dikutip dari The Straits Times, Selasa (17/11).
Otoritas pun merekomendasikan aplikasi lain untuk komunitas muslim seperti Muslim SG yang dikembangkan oleh Muis. Sama seperti Muslim Pro, aplikasi ini menyediakan informasi seperti waktu salat, gerai makanan bersertifikat halal dan lokasi masjid.
Akan tetapi, Motherboard melaporkan bahwa Muslim Pro hanyalah salah satu dari ratusan aplikasi yang menghasilkan uang dengan menjual data lokasi pengguna ke broker pihak ketiga seperti X-Mode. Selain Muslim Pro, X-Mode mendapatkan data dari aplikasi pelacakan cuaca dan penelusuran Craigslist.
Aplikasi lain yang juga ditampilkan dalam investigasi Motherboard yakni aplikasi perjodohan untuk muslim, Mingle. Aplikasi ini diunduh lebih dari 100 ribu kali.
Sedangkan militer AS juga dilaporkan membeli data dari broker pihak ketiga lainnya, yakni Babel Street. Berdasarkan catatan pengadaan publik, Komando Operasi Khusus AS (US Special Operations Command) menghabiskan US$ 90.656 pada April lalu untuk membeli data lokasi dari Babel Street.
Babel Street menambang data dari aplikasi yang ada di ponsel dan menjual produk bernama Locate X. Ini memungkinkan orang memilih wilayah yang ingin dipantau dan menunjukkan pergerakan setiap perangkat di area itu.
Klien Babel Street, termasuk militer AS dapat meminta untuk mencari lokasi perangkat tertentu setelah membayar untuk mengakses data.
Juru bicara Komando Operasi Khusus AS Tim Hawkins mengatakan, pembelian data dari Babel Street untuk mendukung misi pasukan operasi khusus di luar negeri. "Kami secara ketat mematuhi prosedur dan kebijakan yang ditetapkan untuk melindungi privasi, kebebasan sipil, hak konstitusional dan hukum warga AS," katanya.