Stasiun televisi RCTI dan iNews mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait YouTube dan Netflix. Keduanya mendorong agar perusahaan penyedia layanan streaming film dan video on demand (VoD) tunduk pada Undang-undang (UU) Penyiaran.
Kedua stasiun televisi tersebut khawatir bakal muncul konten-konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila lewat layanan perusahaan over the top (OTT). Gugatan ini terungkap dalam permohonan judicial review di situs MK, kemarin (28/5).
Permohonan itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo. Mereka mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.
Pasal itu menjelaskan definisi penyiaran, yakni kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
(Baca: Kominfo akan Atur Kewenangan KPI Awasi Netflix dkk dalam RUU Penyiaran)
Kedua perusahaan menilai, Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran belum mencakup penyiaran menggunakan internet. Oleh karena itu, ada perbedaan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antarpenyelenggara penyiaran.
"Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila. Selain itu, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama, serta jati diri bangsa," demikian isi judicial review tersebut, Jumat (29/5).
Bahkan, kedua perusahaan menilai penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet bisa saja memuat konten yang berbahaya. Konten yang dimaksud yakni memecah belah atau mengadu-domba anak bangsa.
RCTI dan iNews merupakan instansi penyiaran berbasis spektrum frekuensi radio. Konten siaran keduanya diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
(Baca: Pengawasan Netflix Dkk Libatkan 4 Kementerian, DPR Usul Perpres)
KPI tak mengawasi konten yang berbasis internet. Hal ini membuat RCTI dan iNews khawatir.
Keduanya menilai, rumusan ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran a quo menimbulkan multi-interpretasi. Pada akhirnya berpotensi melahirkan kontroversi di tengah publik.
Mereka mencontohkan pernyataan Ketua KPI Agung Suprio yang akan mengawasi YouTube dan Netflix, namun langsung menuai reaksi masyarakat. "Bahwa polemik sebagaimana diungkapkan di atas menjadi fakta hukum yang membuktikan rumusan ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran memang multitafsir,” demikian dikutip.
Maka dari itu, RCTI dan iNews meminta MK untuk merumuskan Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran. (Baca: Netflix dan Viu Respons soal Streaming Film Dipungut Pajak Mulai Juli)
Mereka mengusulkan definisi baru terkait penyiaran, yakni kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.
RCTI dan iNews menilai, penyelenggaraan penyiaran wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan UU. Hal ini untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Katadata.co.id telah meminta tanggapan dari YouTube dan Netflix Indonesia mengenai gugatan tersebut. Namun, kedua perusahaan belum berkomentar hingga berita ini diturunkan.
(Baca: Layanannya Masih Diblokir Telkom, Netflix: Kami Terus Negosiasi)