Perusahaan teknologi di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS) masif melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK dan mencatatkan penurunan harga saham tahun ini. Situasi ini dinilai sebagai yang terburuk setelah fenomena gelembung internet atau kehancuran dot-com.
Silicon Valley merupakan pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo. Letaknya di selatan San Francisco, California, AS. Wilayah ini menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.
Beberapa perusahaan teknologi di Silicon Valley mencatatkan penurunan harga saham tahun ini. Harga saham startup olahraga Peloton misalnya, turun dari US$ 163 pada akhir 2020 menjadi sekitar US$ 17 pekan lalu (5/5).
The Wall Street Journal melaporkan, eksekutif perusahaan ingin menjual saham minoritas kepada investor luar. Peloton juga memberhentikan ribuan karyawan pada Februari lalu.
Harga saham unicorn investasi berbasis online untuk saham, kripto, dan emas, Robinhood mencatatkan penurunan harga saham 4,62% di Nasdaq minggu lalu (6/5). Robinhood juga memberhentikan 9% dari total karyawan penuh waktunya.
Kemudian, perusahaan teknologi Cameo, Thrasio, dan Workrise memberhentikan sejumlah pegawai di tengah pandemi Covid-19.
“Ini terjadi karena adanya sentimen negatif investor di Silicon Valley. Kejadian ini adalah yang paling buruk sejak kehancuran dot-com,” kata venture capitalist di San Francisco dan mantan eksekutif di PayPal David Sacks dikutip dari NBC News, Minggu (8/5).
Kehancuran dot-com atau gelembung dot-com terjadi pada periode 1998 hingga awal 2000-an. Saat itu, banyak perusahaan yang mencantumkan nama dot-com.
Mereka melantai di bursa efek dan mencatatkan harga saham yang meroket.
Perusahaan dot-com saat itu banyak menjalankan model perusahaan rintisan atau startup yang bereksperimen dengan cara-cara baru dalam berbisnis. Namun, mereka tidak punya arah bisnis yang jelas dan tidak stabil.
Kemudian, gelembung dot-com meledak dan harga saham perusahaan internet itu runtuh. Bahkan banyak di antaranya yang gulung tikar.
(BACA JUGA: Kasus WeWork sinyal berakhirnya startup rugi yang gencar bakar uang)
Perusahaan yang menjual persediaan hewan peliharaan Pets.com misalnya, hanya bisa bertahan selama sembilan bulan sebelum bangkrut.
E-commerce Boo.com bangkrut pada 2000 sejak meluncur pada 1999. Perusahaan bisnis grosir online Webvan juga hanya mampu bertahan tiga tahun sebelum bangkrut pada 2001.
Meski begitu, sejumlah perusahaan teknologi masih bisa bertahan pada periode itu seperti Amazon, eBay, Oracle hingga Cisco. Mereka sempat jatuh pada periode gelembung dot-com, kemudian berhasil bangkit.
Dalam penelitiannya, profesor strategi dan kewirausahaan di University of Maryland David Kirsch menunjukkan bahwa 48% perusahaan dot-com itu berhasil bangkit kembali.
Ia mengatakan, perusahaan itu berhasil bangkit dari gelembung dot-com bubble karena mengabaikan model bisnis yang disebut "Get Big Fast". Model bisnis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi pasar lebih awal dan tumbuh secepat mungkin, untuk menutup semua pesaing.
Sedangkan, perusahaan yang bertahan cenderung mengandalkan strategi ceruk mikro. Mereka menyasar pasar yang tidak menawarkan keuntungan cepat ratusan juta dolar AS tetapi masih menyajikan peluang bisnis berbasis internet yang layak.
Kini, beberapa perusahaan teknologi di Silicon Valley kembali mengalami masa-masa sulit. Analis lainnya bahkan mereka sebagai ‘zombi unicorn’.
(BACA JUGA: Petinggi GoTo - Shipper Beri 5 Tips Sukses Tak Jadi Startup "Zombie")
Julukan tersebut merujuk pada perusahaan rintisan yang bernilai tinggi atau unicorn tetapi goyah dan membutuhkan investor baru untuk menyelamatkan mereka.
“Banyak dari perusahaan teknologi yang ini yang tidak pernah mengira kepercayaan investor dari modal ventura akan melambat,” kata kolumnis teknologi di Axios Dan Primack.
Investor teknologi Zach Coelius menyebut, sentimen investor di Silicon Valley mulai terjadi pada awal tahun. Ini juga seiring dengan kenaikan suku bunga suku bunga Amerika dan pasar saham publik.
Situasi memburuk di tengah musim pengumuman pendapatan kuartal pertama 2022. "Sebab, perusahaan publik memberikan hasil atau perkiraan yang mengecewakan," katanya.