Pertumbuhan ekonomi di Indonesia mulai pulih dari dampak pandemi corona. Namun ada tiga startup yang melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan yakni Tanihub, Zenius, dan LinkAja.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura Untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro menilai, tren startup PHK karena beberapa faktor. Salah satunya, investor yang semakin selektif memberikan pendanaan kepada perusahaan rintisan.
“Jadi, startup harus menghemat dana dan berusaha mempunyai runway yang lebih panjang. Salah satu caranya yakni langkah-langkah efisiensi,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, Rabu (25/5).
Runway merupakan istilah yang menggambarkan panjangnya umur startup.
Berdasarkan laporan Cento Ventures, porsi nilai investasi ke startup Indonesia dari modal ventura hanya 42% se-Asia Tenggara tahun lalu. Persentase ini menurun dibandingkan 2020 68% dan 2019 53%.
Porsi nilai investasi dari modal ventura ke startup Indonesia 42%. Ini artinya, pendanaan ke perusahaan rintisan Tanah Air sepanjang tahun lalu sekitar US$ 5,96 miliar atau sekitar Rp 230,1 triliun.
Meski begitu, menurut dia investor justru tidak masalah dengan keputusan startup melakukan PHK karyawan. “Justru akan mengapresiasi karena pendiri berani mengambil langkah efisiensi,” ujar dia.
Sedangkan Bendahara Amvesindo Edward Ismawan Chamdani menilai, alasan Tanihub, Zenius, dan LinkAja melakukan PHK karena persoalan bisnis. Ia tidak memerinci lebih dalam terkait faktor yang dapat mendorong perusahaan rintisan melakukan efisiensi.
Tetapi sebelumnya, Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital itu mengatakan bahwa ada sentimen negatif global seperti yang terjadi di Silicon Valley. "Namun, itu mungkin sesaat dan tergantung situasi," kata ia kepada Katadata.co.id, dua pekan lalu (12/5).
Ia mengatakan, investor global yang berencana berinvestasi ke startup Indonesia pun bisa saja berpikir ulang melihat kondisi tersebut. Apalagi, menurutnya investor perusahaan rintisan saat ini mengamati situasi pasar modal.
"Ini sangat berpengaruh juga ke sentimen di Indonesia," katanya.
Meski begitu, investor akan tetap melihat fundamental startup dan potensi pasar yang masih menjanjikan. Fundamental perusahaan rintisan dilihat dari besarnya pasar, pangsa pasar, dan lintasan pertumbuhan.
Awal tahun ini, korporasi teknologi di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS) juga mencatatkan penurunan harga saham. Beberapa di antaranya juga melakukan PHK, dan ada yang disebut zombi unicorn.
Silicon Valley merupakan pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo. Letaknya di selatan San Francisco, California, AS. Wilayah ini menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.
Sedangkan frasa zombi unicorn merujuk pada perusahaan rintisan bernilai tinggi tetapi goyah dan membutuhkan investor baru untuk menyelamatkan bisnis mereka.
Managing Partner East Ventures Roderick Purwana mengatakan, perusahaan teknologi di Silicon Valley itu terjadi karena sejumlah pemicu, seperti:
- Ekspektasi investor kepada perusahaan teknologi berkurang setelah pandemi Covid-19
- Tingginya inflasi dunia yang membuat bank sentral AS, The Fed menaikkan suku bunga
- Kekhawatiran geopolitik, seperti perang Rusia dan Ukraina
"Ini akan memberi dampak ke dunia, dimana investor lari ke aset yang lebih aman," kata Roderick, minggu lalu (17/5).
Khusus di Indonesia, menurutnya relatif lebih terjaga. Sebab, ekonomi Indonesia secara makro cenderung stabil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi kuartal I mencapai 5,01% secara tahunan.
Meski begitu, startup Indonesia tetap terkena imbasnya. "Ada perubahan pola pendanaan dan valuasi," katanya.
Menurutnya, investor akan mencari startup Indonesia yang dianggap berkualitas. Sedangkan, dari sisi valuasi akan ada penyesuaian.