Apakah Sopir Taksi dan Ojek Online Mendapatkan THR?

ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di depan Stasiun Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Senin (5/9/2022).
Penulis: Desy Setyowati
3/4/2023, 15.52 WIB

Pekerja di Indonesia kini menantikan Tunjangan Hari Raya atau THR menjelang Lebaran. Apakah pengemudi taksi dan ojek online juga mendapatkan THR?

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menjelaskan, hubungan kemitraan tidak berhak mendapatkan THR keagamaan.

“THR Keagamaan hanya diberikan kepada yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)," tulis Kemnaker melalui Twitter, Senin (3/4).

Hubungan pengemudi taksi dan ojek online dengan aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim dan inDrive hanya mitra. Operasional pengemudi sebagai mitra diatur oleh perusahaan.

Mereka pun sering menggelar demo dengan tuntutan ingin menjadi pegawai. Sebab, UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak mengatur hubungan kerja berupa mitra. Alhasil, perlindungan dan kesejahteraan mitra pengemudi tak diatur di UU ini.

Penghasilan pengemudi taksi dan ojek online di Indonesia dihitung berdasarkan jarak tempuh dan insentif dari perusahaan. Tarif per kilometer diatur oleh Kemenhub.

Meski begitu, aplikator seperti Gojek dan Grab tercatat beberapa kali memberikan bonus kepada mitra pengemudi menjelang Lebaran. Pada 2022 misalnya, Tokopedia, OVO, dan Grab bekerja sama menggelar program donasi 'Patungan Untuk Berbagi THR' untuk bagi 100 ribu pekerja informal yang terkena dampak pandemi virus corona atau Covid-19.

Potensi Taksi dan Ojek Online Jadi Pegawai

Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setyadi pernah mengatakan, wacana mengubah status pengemudi taksi dan ojek online dari mitra menjadi karyawan pernah dibahas. Rencana ini muncul karena Gojek dan Grab merekrut banyak mitra.

Kementerian pun membahas potensi perubahan status itu ketika merancang peraturan tentang taksi online pada 2017. Aturan itu kemudian dicabut oleh Mahkamah Agung (MA).

Lantas, hal itu dibahas lagi saat Kemenhub mengkaji Permenhub Nomor 118 Tahun 2018. “Saat itu pernah diwacanakan. Kalau merekrut (mitra pengemudi) seperti menarik karyawan. Itu sudah dibahas, tapi tidak bisa,” kata Budi kepada Katadata.co.id, pada September 2019.

Gojek dan Grab bukan murni perusahaan transportasi. Kedua startup bervaluasi lebih dari US$ 10 miliar ini merupakan penyedia layanan on-demand. Oleh karena itu, bisnis mereka berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Sedangkan mantan Menteri Kominfo Rudiantara sempat menjelaskan, status pengemudi taksi ataupun ojek online tergantung pada ekosistem layanan. “Tergantung model bisnis yang mau dipakai dan ekosistemnya,” kata dia di Jakarta, September 2019.

Di Indonesia, Gojek dan Grab merupakan pengembang aplikasi super (superapp). Alhasil, layanannya bukan hanya berbagi tumpangan, tetapi juga logistik, pesan-antar makanan, fintech hingga konten digital.

Oleh karena itu, kedua decacorn tersebut disebut sebagai perusahaan aplikasi, bukan transportasi. Pengemudinya pun disebut mitra, bukan karyawan.

Pada November 2022, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan aplikator ojek online menjadi perusahaan transportasi. Namun Grab, Gojek, dan Maxim menyatakan bahwa model bisnisnya berbeda dengan transportasi umum.