Fintech Berpotensi Redam Dampak Negatif Investasi Jangka Pendek Asing

Katadata | Arief Kamaludin
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menilai, fintech berpeluang menangkal dampak negatif dari masuknya investasi asing jangka pendek.
Penulis: Desy Setyowati
9/8/2019, 21.48 WIB

Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menilai, perusahaan teknologi finansial (fintech) berpeluang menangkal dampak negatif dari masuknya investasi asing jangka pendek. Sebab, industri ini memberikan alternatif investasi bagi masyarakat.

Berdasarkan riset McKinsey Global Institute, Indonesia memerlukan 113 juta tenaga kerja terampil untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia pada 2030. “Sekarang mendekati itu (113 juta). Mereka punya penghasilan. Kalau nilainya kecil-kecil, tetapi jumlah masyarakat Indonesia yang banyak, saya kira itu akan meningkatkan dana yang dikumpulkan,”  kata Nurhaida di Jakarta, Jumat (9/8).

Dalam hal ini, beberapa fintech pinjaman (lending) menyediakan layanan investasi bagi masyarakat. Dana itu kemudian digunakan untuk membiayai pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Tanah Air.

(Baca: Pemerintah Waswas Kepemilikan Asing di Surat Utang Negara Kian Tinggi)

Selain itu, sejumlah fintech menjajakan Surat Berharga Negara (SBN) ritel. “Saya melihat peran fintech sangat besar. Masyarakat Indonesia tidak mungkin tak punya uang. Masyarakat punya kemampuan untuk berinvestasi, tetapi tidak punya akses ke keuangan,” kata dia.

Saat ini, ada 113 fintech pinjaman yang terdaftar di OJK. Masyarakat bisa memanfaatkan layanan tersebut untuk berinvestasi. “Fintech ini bisa menjangkau seluruh masyarakat Indonesia. Di sini, peran fintech sangat penting,” katanya.

Dia berharap, kehadiran fintech pinjaman dapat meminimalkan ketergantungan terhadap modal asing jangka pendek dalam rangka mengatasi saving-investment gap. Nurhaida menjelaskan, investasi asing memang dibutuhkan. Apalagi, Indonesia tengah menggencarkan pembangunan infrastruktur.

(Baca: Aliran Masuk Modal Asing Berlanjut, Tembus Rp 179 T Sepanjang Tahun)

Hanya saja, tingginya kepemilikan asing atas instrumen investasi bersifat jangka pendek seperti SBN bisa meningkatkan risiko perekonomian. Karena itu, pemerintah berharap masyarakat Indonesia bisa membantu, dengan cara berinvestasi di dalam negeri.

“Tidak salah sebenarnya (dengan investasi asing jangka pendek), tetapi ada risiko. Pada saat kondisi global baik, dana-dana yang ada di Indonesia cenderung ke luar negeri. Maka bagaimana saving-investment gap itu bisa dikurangi,” katanya.

Di lain kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan bahwa porsi kepemilikan asing pada SBN mencapai lebih dari 40%. "Sekali goyang (perekonomian), mereka langsung keluar. Ekonomi kita terbanting,” katanya.

Salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan asing pada portofolio surat utang pemerintah, antara lain dengan mendorong inklusi keuangan. “Inklusi keuanga tidak hanya sekadar buka tabungan (di bank), tetapi juga produk keuangan lainnya," kata Darmin.

(Baca: Pengutang Membeludak, Fintech Pembiayaan Masih Minim Investor)