Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan aplikasi OJK-Box, yang disingkat OBOX. Aplikasi ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan OJK terhadap sektor jasa keuangan berbasis digital.
Meski begitu, pengawasan lewat aplikasi ini lebih dulu diterapkan untuk sektor perbankan yang menyediakan layanan berbasis digital. “Ini merupakan bagian dari Business Process Re-Engineering proses pengawasan dengan memanfaatkan teknologi,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam siaran pers, Rabu (15/3).
Ia menjelaskan, pengawasan layanan keuangan berbasis teknologi informasi merupakan salah satu program prioritas dari kebijakan strategis OJK pada 2019. Menurutnya, pemanfaatan aplikasi seperti ini bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi OJK.
(Baca: Darmin: Perlu Ada Kajian Aturan Fintech untuk Antisipasi Risiko Siber)
Bank bisa menyampaikan informasi terkait transaksi ke OJK, melalui OBOX. Informasi tersebut akan melengkapi laporan yang telah ada. Dengan informasi yang lebih detail ini, perhatian OJK dan bank terhadap potensi risiko bisa meningkat. Alhasil, risiko bisa diatasi lebih dini.
Informasi yang lebih awal melalui OBOX bisa meningkatkan pengawasan. "Ke depan, kegiatan pemeriksaan situs (on-site examination) akan lebih fokus pada konfirmasi hasil analisis terhadap data dan informasi yang telah dilakukan sebelumnya," ujarnya.
Ia juga optimistis aplikasi ini lebih menguntungkan bagi industri jasa keuangan, karena mengurangi beban dan waktu pelayanan pemeriksaan di tempat (on-site). Respons hasil pemeriksaan dan pengembangan peringatan dini menjadi lebih cepat.
(Baca: Skenario OJK Agar Bank Tak Kalah Saing dengan Fintech)
Pengembangan aplikasi OBOX dilakukan melalui dua fase. Pertama, diterapkan kepada 10 bank yang menjalankan proyek percontohan (pilot project) yang diterapkan pada 13 Mei 2019. Implementasi fase kedua mencakup 104 bank umum lainnya dan dilakukan secara bertahap hingga akhir Desember 2019.
Menurut Wimboh, implementasi aplikasi ini menjadi langkah awal OJK dalam mengikuti perkembangan teknologi. “OJK bisa mengadopsi mengadopsi paradigma pengawasan (jasa keuangan) berbasis teknologi informasi yang tengah berkembang,” ujar dia.
Langkah tersebut sejalan dengan perkembangan inovasi produk dan layanan di industri jasa keuangan yang semakin kompleks. Karena itu, menurut dia perlu ada pola pengawasan yang lebih responsif. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi potensi permasalahan yang dapat mengganggu kesehatan industri jasa keuangan.
OJK juga berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk mewujudkan integrasi pelaporan perbankan. Dengan begitu, perbankan hanya perlu mengakses dan menyampaikan laporan di satu portal pelaporan saja.
(Baca: Ini Alasan Tak Semua Mau Pakai Layanan Finansial Digital )