Darmin: Perlu Ada Kajian Aturan Fintech untuk Antisipasi Risiko Siber
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, perlu ada kajian terkait kebijakan financial technology (fintech). Sebab, ada beberapa persoalan yang belum diatur secara rinci di peraturan fintech saat ini.
Persoalan tersebut seperti upaya memecah transaksi (smurfing) melalui fintech. Tindakan seperti ini dilakukan karena transaksi melalui fintech dibatasi Rp 100 juta. Lalu, ada pula persoalan pseudonimity terkait mata uang virtual seperti bitcoin. Hal seperti ini membuat pelaku transaksi tidak dapat diidentifikasi.
Darmin ingin persoalan seperti ini diatur dalam kebijakan terkait fintech. “Kami memandang perlindungan kepentingan nasional harus dikaji secara serius, termasuk dalam penanganan terorisme dan pencucian uang,” kata dia dalam siaran pers, Selasa (30/4).
(Baca: Teknologi Baru Cegah Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme di Fintech)
Ia menyadari, bahwa fintech berpotensi meningkatkan inklusi keuangan di Tanah Air. Dewasa ini, teknologi digital juga digunakan pada seluruh aspek kehidupan dan pembangunan di Indonesia.
Hanya, perkembangan teknologi digital juga dapat meningkatkan risiko tindak kejahatan siber. Tindakan negatif itu seperti penyalahgunaan data pribadi, cyber crime, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, hingga praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Oleh sebab itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia perlu mengantisipasi dan memitigasi risiko yang muncul dari pemanfaatan teknologi tersebut. Maka, perlu pemahaman mengenai lanskap, ekosistem, dan dinamika industri sebelum mengeluarkan peraturan.
(Baca: Ombudsman dan OJK Sebut Perlu Ada UU untuk Atasi Fintech Ilegal)
Kendati begitu, menurutnya kerangka peraturan harus bersifat ringan, lebih dinamis dan adaptif. “Rumus dasarnya adalah bahwa pengaturannya harus sederhana, ringan, dan fleksibel, supaya tidak mematikan startup dan inovasi,” kata Darmin.
Utamanya, peraturan yang dibuat harus menyeimbangkan peran kebijakan dan regulasi dalam memberikan kepastian hukum, sekaligus melindungi konsumen dan mendorong inovasi. “Perlu kolaborasi dan peran aktif dari platform fintech,” ujarnya.
Hal ini ia sampaikan saat memberikan sambutan tentang Mitigasi Risiko Fintech dan Virtual Currency, di Jakarta. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin, Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae, perwakilan dari OJK dan instansi terkait lainnya.
(Baca: OJK Perketat Perizinan Fintech Pinjaman untuk Hindari Kecurangan)
Saat ini, kegiatan di industri fintech pinjaman (lending) diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi dan POJK Nomor 13 Tahun 2019 tentang inovasi keuangan digital.
Fintech pembayaran diatur oleh BI melalui Peraturan BI (PBI) Nomor 19 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan teknologi finansial. Selain itu, industri ini diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) mengenai Teknologi Finansial dan Regulatory Sandbox.
Lalu, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengatur transaksi mata uang virtual lewat aturan Bappepti Nomor 5 Tahun 2019 tentang ketentuan teknis penyelenggaraan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka. Selain itu, mata uang virtual diatur dalamPeraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 99 Tahun 2018.