Aplikasi percakapan Signal mengalami lonjakan pengguna di tengah kekhawatiran atas kebijakan penggunaan data WhatsApp. Pegawai Signal khawatir, platform disusupi oleh kelompok ekstremis yang mendukung mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Saat rapat, salah satu karyawan Signal yakni Gregg Bernstein bertanya kepada CEO Moxie Marlinspike terkait upaya mencegah ekstremis Trump menyebarkan kampanye di platform. Gregg mengatakan bahwa perusahaan tidak mengantisipasi hal ini.
"Signal tidak memiliki kebijakan ini (menangkal kelompok ekstremis). Mereka juga menolak untuk mempertimbangkan seperti apa kebijakan ke depan," kata Gregg dikutip dari Business Insider, Selasa (26/1).
Ia mengatakan, Signal baru akan melakukan tindakan jika pengguna menyalahgunakan platform atau melakukan hal-hal yang dianggap buruk. “Itu bukan strategi. Ini hanya berharap hal-hal buruk tidak terjadi,” ujar Gregg.
Gregg khawatir, ada kelompok ekstremis Trump yang menggunakan Signal di tengah banjirnya pengguna baru. Namun ia tidak memerinci kekhawatirannya jika para fanatik Trump berinteraksi di Signal.
Pria yang bekerja sebagai engineer itu pun keluar dari Signal pada bulan ini.
Aplikasi Signal memang kebanjiran pengguna baru pada awal tahun ini. Dalam sepekan, jumlah penggunanya meningkat 4.200%.
Berdasarkan data Sensor Tower, pengguna aplikasi pesan ini bertambah 7,5 juta selama 6-10 Januari. Pada Rabu (13/1), Signal bahkan masuk dalam daftar puncak aplikasi yang banyak diunduh di Google Play Store dan App Store.
Selain karena pengguna beralih dari WhatsApp, Signal direkomendasikan oleh CEO Tesla Elon Musk. Aplikasi ini juga didukung oleh whistleblower AS Edward Snowden.
Meski begitu, platform media sosial seperti Facebook dan Twitter telah menonaktifkan akun-akun sayap kanan karena menyebarkan kampanye kekerasan. Sedangkan berdasarkan keterangan Gregg, Signal belum mengantisipasi hal ini.
Padahal, "mereka (akun sayap kanan) akan berebut mencari rumah baru (karena Facebook dan Twitter memblokir mereka)," kata analis keamanan nasional yang pernah menjabat Asisten Direktur FBI Frank Figliuzzi, dikutip dari NBC News, pekan lalu (13/1).
Apalagi, aplikasi yang biasa digunakan oleh para pendukung Trump yakni Parler diblokir oleh Amazon, Apple dan Google. Sebagian dari mereka diketahui beralih ke Telegram. Pengembang Telegram pun langsung menandai akun yang diklaim sebagai pendukung Trump itu.
Kelompok ekstremis yang diblokir oleh sejumlah raksasa teknologi yakni QAnon dan Proud Boys. Ini karena mereka melakukan beberapa tindakan kontroversial ketika mendukung Trump, salah satunya masif menyebarkan berita bohong atau misinformasi.
Sebelum pelantikan Biden, pendukung Trump juga sempat berunjuk rasa di Washington. Mereka menyerbu Gedung Capitol hingga menyebabkan rapat pengesahan Joe Biden sebagai presiden dihentikan.
CNN, Reuters hingga Washington Post melaporkan bahwa sebagian dari para demonstran itu membawa senjata. Seorang perempuan bahkan tertembak.