Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (AS) atau FTC sedang meninjau pembelian Twitter oleh CEO Tesla Elon Musk senilai US$ 44 miliar atau Rp 636 triliun. Peninjauan itu dilakukan lantaran FTC khawatir pembelian Twitter oleh Musk bakal melanggar Undang-Undang Anti-monopoli AS.

Dikutip dari Bloomberg, berdasarkan seseorang yang mengetahui masalah tersebut, bulan depan FTC akan memutuskan apakah akan melakukan penyelidikan mendalam terhadap pembelian Twitter itu, atau tidak. Sedangkan, penyelidikan semacam itu akan menunda penutupan kesepakatan selama berbulan-bulan.

Sebelum peninjauan terhadap kesepakatan pembelian 100% saham Twitter oleh Musk, FTC sudah menyelidiki pembelian awal Musk atas 9% saham di Twitter. "FTC menyelidiki apakah dia mematuhi persyaratan pelaporan anti-monopoli ketika dia mengakuisisi saham atau tidak," demikian dikutip dari Bloomberg, Kamis (5/5).

Peninjauan FTC terhadap tindakan Elon Musk itu dilakukan berdasarkan masukan dari pakar anti-monopoli, yang menyatakan ada kemungkinan kecil ditemukan bukti, bahwa pembelian Twitter oleh Elon Musk ilegal.

Open Markets Institute juga sebelumnya menyebutkan, kesepakatan pembelian 100% saham Twitter dihentikan untuk menghindari adanya kontrol penuh platform media sosial oleh satu orang yang berkuasa. "Kontrol langsung atas salah satu platform paling penting di dunia untuk komunikasi dan debat publik ini akan berbahaya," kata Open Market Institute.

Sebelumnya, direktur kebijakan di kelompok hak digital internasional Access Now Javier Pallero juga khawatir Musk akan mengambil pendekatan yang lebih bebas dalam moderasi konten setelah membeli Twitter.

Pallero mengatakan, akun yang mengunggah konten eksplisit ilegal seperti pornografi dapat dengan mudah beredar. Konten ini juga diperkuat tanpa ada yang membedakannya dari unggahan lain.

Kemudian, muncul masalah konten seperti ujaran kebencian, yang tidak secara eksplisit ilegal, tetapi masih berbahaya. Moderasi konten ini akan longgar dan menjadi lebih umum.

"Tidak mungkin Elon Musk dapat menggunakan platform yang layak untuk kebebasan berekspresi, jika ia tidak memberikan batasan tertentu," kata Pallero dikutip dari Business Insider, bulan lalu (27/4).

Menurut dia, maraknya konten ujaran kebencian akan berdampak pada pengucilan kelompok tertentu. Mereka yang biasanya dari kelompok minoritas bakal merasa dikucilkan dan terpinggirkan dari platform.

Apalagi, Bos Tesla sebelumnya menyatakan bahwa visi setelah membeli Twitter yakni keterbukaan. "Kebebasan berbicara adalah landasan demokrasi yang berfungsi,” kata Musk dikutip dari Reuters, Selasa (26/4).

“Twitter memiliki potensi luar biasa. Saya berharap dapat bekerja sama dengan perusahaan dan pengguna untuk membuka potensi itu,” tambah orang terkaya di dunia versi Forbes tersebut.

Diketahui, pendiri SpaceX tersebut berhasil mencapai kesepakatan untuk membeli saham Twitter senilai Rp 636 triliun pada bulan lalu (25/4). Kesepakatan ini disetujui dengan suara bulat oleh dewan direksi Twitter dan prosesnya diperkirakan selesai tahun ini.

Dewan direksi Twitter setuju menjual saham kepada Elon Musk seharga US$ 54,2 atau Rp 781 ribu per lembar. Harganya setara premi 38% dari harga saham perusahaan sebelum Musk menjadi pemegang saham tunggal terbesar.

"Dewan direksi Twitter telah melakukan proses yang bijaksana dan komprehensif untuk menilai proposal Elon Musk dengan fokus yang disengaja pada nilai, kepastian, serta pembiayaan," kata ketua Dewan Independen Twitter Bret Taylor, dikutip dari CNN Internasional, bulan lalu (26/4).

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan