Pemerintah berupaya mengurangi persoalan sampah melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa. Namun, proyek yang mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan keraguan mengenai keberlanjutan proyek ini.
Mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mendukung pengelolaan sampah menjadi energi guna menyikapi persoalan lingkungan. Apalagi pengembangan pembangkit jenis ini juga telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018.
Meski begitu, terdapat beberapa kelompok yang tak mendukung proyek ini. Purnomo menyebutkan keberatan yang datang dari KPK karena proyek PLTSa ini berpotensi membebani keuangan pemerintah daerah. "Bahkan KPK waktu itu tidak setuju. Ini masih ambigu," ujar Purnomo dalam diskusi secara virtual, Senin (12/4).
Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa menilai pengelolaan sampah yang tepat merupakan hal mendesak dikerjakan. Apalagi konversi sampah menjadi listrik dapat melalui proses yang bermacam-macam.
Iwa tak menampik, dari segi biaya, konversi sampah jadi listrik memang akan lebih mahal jika dibandingkan menggunakan sumber energi batu bara. Meski demikian, ia berpendapat persoalan sampah jangan hanya dilihat dari segi harga.
Dia berpandangan yang perlu menjadi perhatian bagaimana mengelola sampah secara tepat dapat dilakukan. "Saya kira, kita tidak boleh ambigu, pemerintah daerah punya sampah. Problem sampah ada biaya penyelesaian sampah," ujarnya.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan pernah menyebut nilai inefisiensi proyek itu mencapai Rp 3,6 triliun. Hal ini terjadi karena program PLTSa dibebankan ke pemerintah daerah. Skema take or pay untuk membeli listrik dari pihak swasta cukup memberatkan PLN.
Pahala menyebut salah satu kepala daerah sempat keberatan dengan proyek pembangkit itu. Alasannya, setiap satu ton sampah yang disetor ke swasta, pemerintah daerah merogoh kocek sekitar Rp 310 ribu. Sementara jumlah yang dihasilkan mencapai 1.400 ton per hari. “Kalikan saja itu, sepanjang 25 tahun tidak dapat apa-apa lagi,” katanya.
PLN pun wajib membayar listrik yang berasal dari PLTSa. Padahal, belum tentu tegangannya sesuai ketentuan. “Lagi-lagi proyek ini hanya menguntungkan swasta,” ujar Pahala.
Dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016, PLN disebut menjadi pembeli listrik PLTSa dengan harga US$ 18 sen per kilowatt hour (kWh). Tapi pembangunan pembangkitnya tidak terealisasi.
Pemerintah kemudian merevisi aturan itu melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2018. Sebanyak 12 kota ditunjuk untuk percepatan pembangunannya. Tarif pembelian listriknya turun menjadi US$ 13,35 sen per kilowatt hour. Sampai akhir 2019, PLN tidak melakukan realisasi pembelian listrik tersebut.
Pahala berpendapat koordinasi pemerintah sangat buruk dalam merealisasikan proyek PLTSa. Kementerian teknis harus bergerak cepat mencari solusi. Pasalnya, pemerintah daerah terus membayar sampah yang dikumpulkan sekalipun tidak sesuai kuota.
Biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah atau tipping fee dapat memberatkan anggaran daerah (APBD). KPK menyarankan pemerintah dapat mengganti program tersebut agar dapat lebih efisien. "Surat kami mengatakan, sudah enggak usah sampah jadi listrik. Sampah jadi energi saja," kata dia.
Indonesia diperkirakan menghasilkan 64 juta ton sampah setiap tahun. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), komposisi sampah didominasi oleh sampah organik, yakni mencapai 60% dari total sampah. Berikut grafik dari Databoks: