Rencana pemerintah mengguyurkan subsidi mobil listrik dan hybrid dianggap tidak urgen dan tidak tepat sasaran. Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mengusulkan subsidi atau insentif kendaraan listrik sebaiknya disalurkan untuk memperbanyak unit moda transportasi publik seperti pengadaan bus ataupun kereta api listrik.
Pemberian subsidi kepada kendaraan publik dianggap sejalan dengan target pemerintah yang berupaya untuk mengurangi impor BBM dan mengurangi gas emisi rumah kaca lewat penciptaan eksositem kendaraan listrik.
"Saya rasa subsidi untuk mobil hybrid yang masih menggunakan BBM tidak tepat sasaran. Efektivitas dalam menekan penggunaan BBM dalam sektor transportasi ini masih belum jelas," kata Mulyanto melalui pesan singkat kepada Katadata.co.id, Selasa (27/12).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, kebijakan alokasi insentif untuk pengembangan ekosistem kendaraan listrik seharusnya diarahkan pada kendaraan umum atau transportasi publik berbasis listrik, termasuk juga bagi penyediaan infrastruktur pendukung berupa stasiun pengecasan daya listrik.
"Bus listrik sangat baik dan pantas mendapat subsidi pemerintah," ujar Mulyanto.
Mulyanto juga menganggap insentif untuk pembelian mobil listrik berbasis kendaraan baterai senilai Rp 80 juta per unit, sebagai cara yang keliru. Dia mengatakan subsidi seharusnya diberikan kepada masyarakat kurang mampu.
"Dana subsidi yang terbatas sebaiknya tidak disalurkan untuk membeli barang mewah yang bersifat personal-individual. Ini kan melukai rasa keadilan masyarakat," kata Mulyanto.
Adapun Jakarta Smart City pernah membuat proyeksi data perbandingan panjang jalan yang dibutuhkan untuk menampung kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Hitung-hitungan ini melibatkan asumsi 100 orang yang ada di dalam kendaraan.
Apabila 100 orang ini masing-masing naik kendaraan pribadi, maka panjang jalan yang dibutuhkan adalah sekira 510 meter untuk mobil, dengan asumsi jarak antar mobil satu meter. Sedangkan dibutuhkan panjang jalan sekira 85 meter untuk pengendara sepeda motor dengan asumsi jarak antarsepeda motor 50 centimeter. Di sisi lain, hanya butuh satu unit bus Maxi Transjakarta yang memiliki kapasitas daya angkut hingga 100 penumpang. Satu unit bus ini hanya memakan panjang jalan 13,5 meter di satu lajur jalan.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan penyaluran insentif kendaraan listrik tak hanya menyasar pada unit transportasi pribadi seperti mobil dan motor. Menurut Agus, saat ini pemerintah juga berencana untuk menyalurkan insentif pada kendaraan massal, seperti insentif pengadaan bus listrik. Insentif tersebut akan diberikan kepada produsen yang memiliki pabrik di Indonesia.
"Jadi tidak hanya mobil dan motor listrik, tapi juga bus listrik. Syaratnya satu, mereka harus memiliki fasilitas, artinya harus punya pabrik di Indonesia. Itu syarat umumnya," kata Agus dalam Jumpa Pers Akhir Tahun 2022 & Seminar Outlook Industri 2023 yang disiarkan di Youtube pada Selasa (27/12).
Lebih lanjut, kata Agus, besaran fomulasi insentif masih dibahas oleh lintas kementerian dan lembaga. Adapun formulasi hitung-hitungan insentif akan ditentukan dari beragam faktor, seperti batas harga mobil, serapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) ataupun dari ambang batas emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan listrik.
"Rumusannya masih kami finalisasi, begitupun dengan formulasinya.Formulasinya yang saya sampaikan belum final, bisa saja batas harga mobilnya Rp 800 juta atau bisa saja ditentukan kriteria berkaitan dengan TKDN maupun emisinya. Atau bisa saja semua itu dijadikan satu rumusan," ujar Agus.
Selain koordinasi lintas kementerian, Agus menyampaikan pemerintah juga akan berkoordinasi dengan DPR ihwal pemberian kebijakan insentif kendaraan listrik. Pasalnya, anggaran untuk implementasi bagi-bagi insentif kendaraan listrik belum tercatat di APBN 2023.
"Karena pemerintah masih melakukan finalisasi, tentu kami secara resmi belum bicara dengan DPR. Tapi pasti kami bicara, karena kalau ada kaitan dengan anggran itu harus bicarakan dengan DPR, DPR harus memberikan persetujuan," kata Agus.
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan, rencana pemberian subsidi itu tidak ada dalam APBN 2023. Said menilai, rencana subsidi yang sedemikian besar untuk mobil dan motor listrik sangat tidak sebanding dengan alokasi program perlindungan sosial yang diterima oleh setiap rumah tangga miskin. Said meminta kebijakan ini harus dikaji kembali oleh pemerintah.
“Jika subsidi ini akan direalisasikan dalam bentuk uang tunai untuk pembelian mobil dan motor listrik, dan jika direalisasikan tahun depan, maka kami tegaskan tidak ada alokasi APBN 2023 untuk dukungan kebijakan tersebut," kata Said sebagaimana ditulis dalam Siaran Pers Parlemen, Selasa (19/12).
Said menyampaikan, penyaluran insentif kendaraan listrik pada tahun 2023 dirasa kurang elok seiring situasi ekonomi global yang tidak menentu. Said juga mengatakan bahwa pemerintah telah banyak memberi beragam stimulus kepada industri kendaraan listrik.
Salah satu stimulus yang telah diberikan adalah pembebasan pajak pertambangan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) 0%. Selain itu, pabrikan juga telah memperoleh pembebasan bea masuk 0% untuk impor dan insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) 0%.
“Apakah patut, di tengah situasi kita akan menghadapi ekonomi global yang sulit, yang efeknya tentu akan berdampak pada ekonomi domestik lantas kita memikirkan subsidi untuk rumah tangga mampu," ujar Said.
Said menilai, ketimbang memberikan insentif untuk subsidi pembelian mobil listrik, APBN lebih baik digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi, saat ini ia menyebut lebih dari separuh jumlah rakyat Indonesia belum memenuhi standar makanan bergizi, dibarengi dengan masih tingginya angka prevalensi stunting.