Ahli konservasi menemukan 8.011 atau 41% spesies amfibi terancam punah akibat perusakan habitat, penyakit, dan perubahan iklim. Perusakan habitat yang sebagian disebabkan oleh peternakan dan pertanian menjadi momok yang paling berbahaya dengan mempengaruhi 93% amfibi yang terancam punah.

Dikutip dari Reuters, penilaian amfibi tersebut melibatkan kolaborasi 1.000 ahli dari seluruh dunia. Suatu spesies dinyatakan terancam punah jika spesies tersebut telah dievaluasi sebagai "sangat terancam punah", "terancam punah" atau "rentan" dalam "daftar merah" spesies terancam punah dari International Union for Conservation of Nature (IUCN). Lembaga tersebut merupakan otoritas global untuk risiko kepunahan satwa liar.

Berbagai spesies amfibi yang terancam punah tersebut mulai dari katak jempol berduri, kadal merah, kodok raksasa Afrika Barat, kodok pohon berornamen, dan salamander api. Spesies amfibi merupakan hewan bertulang belakang yang mendiami habitat air dan darat.

Penemuan kondisi amfibi dunia saat ini lebih buruk dibandingkan dengan penilaian pertama pada tahun 2004. Saat itu, para ahli menyatakan 39% spesies amfibi terancam punah.

“Aktivitas manusia dan perubahan iklim telah mengganggu keseimbangan planet kita, sehingga merugikan fauna dan flora. Amfibi berada dalam kondisi terburuk di antara vertebrata dengan 27% mamalia, 21% reptil, dan 13% burung ditemukan terancam punah dalam penilaian terpisah,” kata laporan tersebut, dikutip dari Reuters, Kamis (5/10). 

"Sebagian besar, identifikasi kawasan lindung dan perencanaan konservasi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan mamalia dan burung. Amfibi tidak termasuk di dalamnya," kata ahli konservasi Jennifer Luedtke dari lembaga nirlaba global Re:wild yang berbasis di Texas.

Imbas Pertanian dan Peternakan

Ahli Konservasi, Kelsey Naem, mengatakan perusakan habitat yang sebagian disebabkan oleh peternakan dan pertanian menjadi penyebab yang paling berbahaya dengan mempengaruhi 93% amfibi yang terancam punah.  Namun, peneliti menemukan semakin banyak spesies yang terancam oleh penyakit dan perubahan iklim.

"Amfibi sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan mereka, sebagian karena mereka bernapas melalui kulit," kata Neam.

Dengan demikian, Naem mengatakan, dampak perubahan iklim dapat menyebabkan hilangnya tempat berkembang biak utama, peningkatan mortalitas, degradasi habitat, dan pergeseran habitat yang membuat amfibi lebih sulit menemukan tempat yang cocok untuk hidup. Perubahan iklim tersebut seperti peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem, perubahan kelembapan dan suhu, kenaikan permukaan air laut, dan kebakaran.

Selain itu, Naem mengatakan konsentrasi amfibi yang paling terancam punah ditemukan di kepulauan Karibia, Meksiko dan Amerika Tengah, wilayah tropis Andes, India, Sri Lanka, Kamerun, Nigeria, dan Madagaskar.

"Amfibi telah berevolusi menjadi keragaman ukuran, warna, dan perilaku yang luar biasa. Mereka bisa sekecil lalat rumah, katak bintik dada Macaya, dan sepanjang sapi, salamander raksasa Cina," kata Neam.

"Ketika kita melindungi dan memulihkan amfibi, kita melindungi dan memulihkan ekosistem darat dan air, kita melindungi keragaman genetik planet kita, dan kita berinvestasi untuk masa depan di mana semua kehidupan, termasuk kehidupan manusia dapat berkembang,” kata dia.

Dalam beberapa dekade terakhir, bencana alam terkait perubahan iklim cenderung meningkat di skala global. Hal ini tercatat dalam laporan Bank Dunia yang bertajuk The Atlas of Sustainable Development Goals 2023.

Reporter: Nadya Zahira