Pengusaha Hutan Sebut Realisasi Perdagangan Karbon Penuh Tantangan

KKI Warsi
Saat ini ada sekitar 600 unit perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mengelola sekitar 30 juta hektare (ha) kawasan hutan.
Penulis: Nadya Zahira
8/11/2023, 16.00 WIB

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyebut perdagangan karbon menjadi salah satu cara terbaik untuk mendukung upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, realisasi perdagangan karbon di Tanah Air masih penuh tantangan.

Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo mengatakan, Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan salah satu sumber pendanaan untuk mencapai target pengurangan emisi GRK Indonesia. Untuk melaksanakan NEK, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah regulasi.  “Meski demikian dalam implementasinya masih penuh tantangan,” ujar Indroyono, melalui keterangan resmi, Rabu (8/11). 

Untuk itu, Indroyono menilai harus ada pembelajaran dan upaya berbagi pengetahuan dari negara-negara lain terkait bagaimana aksi mitigasi perubahan iklim bisa menghasilkan kredit karbon. Hal ini diharapkan bisa menjawab menjawab tantangan dalam pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia.

Saat ini ada sekitar 600 unit perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mengelola sekitar 30 juta hektare (ha) kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2023, ada 22 aksi mitigasi yang bisa dilakukan perusahaan PBPH.

Aksi mitigasi tersebut antara lain pengurangan laju deforestasi lahan mineral, lahan gambut serta mangrove; dan pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral. Kemudian, lahan gambut dan mangrove; pembangunan hutan tanaman; pengelolaan hutan lestari (melalui multiusaha kehutanan, reduce impact logging-carbon, dan silvikultur intensif), serta rehabilitasi hutan dan lainnya.

Perlu Metodologi Pengukur Kinerja Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Sekjen APHI Purwadi Soeprihanto menyebutkan, salah satu tantangan yang dihadapi PBPH dalam mengimplementasikan NEK adalah tentang metodologi pengukuran kinerja pengurangan emisi GRK. Pasalnya, metodologi yang sekarang digunakan dalam SRN masih belum sepenuhnya melingkupi aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030.

“Perlu dilakukan percepatan untuk pengesahan  metodologi yang bisa diaplikasikan pada PBPH sesuai dengan aksi mitigasi FOLU Net Sink 2023 ,” kata dia.

Sementara itu, Senior Advisor Business Finland, yang juga Konselor Kedutaan Besar Finlandia di Jakarta, Nina Jacoby mengatakan, perdagangan karbon sejatinya belum benar-benar siap di seluruh dunia.  

“Makanya penting bagi semua pihak untuk berkolaborasi dan melihat apa yang bisa dilakukan antara Indonesia-Finlandia bersama-sama,” ujarnya. Beberapa pembelajaran yang ditawarkan oleh Finlandia adalah permodelan karbon pada hutan yang bisa dapat dipertanggungjawabkan. 

Untuk melaksanakan NEK, telah diterbitkan Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Selain itu juga telah diterbitkan  Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. 

Selain itu, pemerintah juga telah meresmikan Bursa Karbon sebagai tempat untuk perdagangan karbon kredit berupa Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang telah terdaftar dalam Sistem Registri Nasional (SRN).

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Nani Hendiarti mengatakan, Indonesia memiliki potensi ekonomi karbon yang besar. Indonesia, menurut dia, terutama unggul dalam solusi berbasis alam atau natural based solutions (NBS).

Nani menjabarkan, potensi ekonomi karbon paling besar berasal dari ekosistem mangrove yang mencapai Rp 2.333 triliun, hutan Rp 2.333 triliun, gambut Rp 1.134 triliun, dan tumbuhan lamun (seagrass) mencapai Rp 100 triliun.

“Kalau kita lihat, untuk hutan tropis sudah berjalan, tapi lebih yang nonmarket,  jadi result based payment,” kata Nani di acara Katadata Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2023 di Grand Ballroom Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Selasa (26/9).

Reporter: Nadya Zahira