KLHK: Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan Belum Ada Peminatnya

ANTARA FOTO/Andika Wahyu/nym
Foto aerial kawasan mangrove Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai, Bali, Jumat (23/6/2023). Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas lahan mangrove di Provinsi Bali mencapai 2.143,97 hektare dengan 19 hektare di antaranya termasuk kategori kerapatan jarang serta masih terdapat habitat mangrove yang berpotensi dapat ditanami seluas 263 hektare.
Penulis: Nadya Zahira
8/11/2023, 17.55 WIB

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan ada dua sektor potensial dalam perdagangan karbon di Indonesia, yaitu sektor energi dan kehutanan. Namun, hingga saat ini perdagangan karbon di sektor kehutanan belum ada peminatnya. 

“Untuk perdagangan karbon perdagangan di sektor kehutanan belum ada yang masuk, tapi untuk sektor energi sudah ada karena lebih menarik,” ujar Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Wahyu Marjaka, dalam acara Green Press, di Jakarta, Rabu (8/11). 

Untuk itu, Wahyu mengatakan bahwa KLHK terus mendorong pelaku usaha untuk bisa terjun dalam perdagangan karbon di sektor kehutanan. Pasalnya, perdagangan karbon di sektor kehutanan ini berpotensi memiliki keuntungan yang sangat besar. 

“Perdagangan karbon di sektor kehutanan itu dari nilai ekonomi karbonnya saja tinggi, dan sudah nyata ada hasil yang menguntungkan. Tapi belum ada yang masuk, dan harapannya bisa segera terwujud,” kata Wahyu.

Wahyu mengatakan, regulasi untuk perdagangan karbon di sektor kehutanan juga sudah siap karena mempunyai peraturan operasionalnya di Peraturan Menteri ESDM No.16 Tahun 2022 tentang tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). 

“Sudah ada peta jalan perdagangan karbon di sektor kehutanan, jadi dengan adanya itu sudah bisa dilaksanakan, tinggal menunggu yang mau masuk saja,” ujarnya. 

Perdagangan Karbon Masih Penuh Tantangan

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyebut perdagangan karbon menjadi salah satu cara terbaik untuk mendukung upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, realisasi perdagangan karbon di Tanah Air masih penuh tantangan.

Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo mengatakan, Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan salah satu sumber pendanaan untuk mencapai target pengurangan emisi GRK Indonesia. Untuk melaksanakan NEK, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah regulasi.  “Meski demikian dalam implementasinya masih penuh tantangan,” ujar Indroyono, melalui keterangan resmi, Rabu (8/11). 

Untuk itu, Indroyono menilai harus ada pembelajaran dan upaya berbagi pengetahuan dari negara-negara lain terkait bagaimana aksi mitigasi perubahan iklim bisa menghasilkan kredit karbon. Hal ini diharapkan bisa menjawab menjawab tantangan dalam pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia. 

Saat ini ada sekitar 600 unit perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mengelola sekitar 30 juta hektare (ha) kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2023, ada 22 aksi mitigasi yang bisa dilakukan perusahaan PBPH. 

Aksi mitigasi tersebut antara lain pengurangan laju deforestasi lahan mineral, lahan gambut serta mangrove, dan pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral. Kemudian, lahan gambut dan mangrove, pembangunan hutan tanaman, pengelolaan hutan lestari (melalui multiusaha kehutanan, reduce impact logging-carbon, dan silvikultur intensif, serta rehabilitasi hutan dan lainnya.

Reporter: Nadya Zahira