Laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project menunjukan bahwa Indonesia jadi salah satu negara sepuluh besar penghasil karbon di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18.3% pada tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya.
Dalam laporan Global Carbon Project disebutkan capaian kenaikan emisi disumbang dari penggunaan energi fosil khususnya batu bara, alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.
Menanggapi hal itu, Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri, mengatakan hasil penelitian itu tidak mengherankan karena Indonesia masih ketagihan batubara. Pada Desember 2023, produksi batu bara memecahkan rekor yaitu mencapai 703,14 juta ton. Angka tersebut melampaui target produksi batu bara sebesar 694,5 juta ton.
"Belum lagi menimbang co-firing biomassa kayu, yang berdasarkan data Trend Asia dapat memperburuk 155,9 juta ton emisi dari deforestasi 240.622 ha hutan alam," ujarnya dalam keterangan tertulis yang disampaikan Yayasan Indonesia Cerah, Selasa (5/12).
Selain batu bara, sebanyak 43,59% emisi Indonesia berasal dari hutan dan lahan. Hal ini menandakan buruknya perlidungan hutan.
"Akibatnya, dampak perubahan iklim yang dialami Indonesia akan semakin parah. Padahal Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, yang akan memperparah bencana hidrometeorologi yang saat ini saja sudah mendera kita,” ujar Novita.
Temuan ini disampaikan pada Laporan Global Carbon Budget yang disusun oleh lebih dari 120 ilmuwan internasional dan telah ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Para ilmuwan menyatakan bahwa tindakan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil tidak berjalan dengan cepat dan cukup untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya.
Kontradiksi dengan Data Pemerintah
Di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia. Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia.
Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada tahun 1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia.
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengatakan Laporan Global Carbon Budget memperlihatkan bahwa adanya kontradiksi antara data pemerintah dan ilmuwan.
"Oleh karena itu, perlu ada transparansi data pemerintah yang disandingkan dengan dara dari berbagian kajian global dan data yang dimiliki masyarakat sipil,” ujar Nadia.
Dia mengatakan, deforestasi masih terjadi kemungkinan juga disebabkan enhanced NDC masih memberikan “kuota” deforestasi sebesar 300 ribu ha per tahun hingga 2030. Sebanyak 62 persen dari 128,7 ribu hektar deforestasi hutan alam yang terjadi pada 2020-2021, terjadi di wilayah izin dan konsesi.
"Penegakan hukum harus lebih tegas supaya angka deforestasi bisa lebih ditekan. Selanjutnya, Indonesia harus memperkuat komitmennya dalam menghentikan dan mengembalikan (halting and reversing) laju kehilangan hutan Indonesia sebagaimana yang telah dijanjikan pada Glasgow’s Leaders Declaration on Forest and land Use”ujarnya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan posisi Indonesia sebagai salah satu emiten terbesar sedunia merupakan peringatan bahwa negara ini perlu mengambil andil dalam mengurangi jumlah emisi karbon yang dikeluarkan khususnya dari sektor energi dan lahan.
"Sebagai salah salah satu negara yang paling rentan akan perubahan iklim, penting bagi negara kepulauan ini untuk berupaya mengurangi emisi karbon dan menekan laju perubahan iklim serta mencegah dampak terburuknya demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya,” ungkap Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.