Sejumlah bank asing mulai membatasi pembiayaan proyek batu bara, termasuk di Indonesia. Namun langkah tersebut malah dijadikan peluang oleh bank nasional untuk melakukan pendanaan ke proyek tersebut.
"Perbankan di Indonesia melihat itu sebagai peluang. Sebagai peluang bahwa kompetitor semakin sedikit jadi mereka siap memberikan pembiayaan. Ini justru bertolak belakang,” kata Direktur eksekutif Indonesia CERAH, Agung Budiono, di Jakarta, Kamis (25/1).
Dia mengatakan, perbankan Indonesia seharusnya sadar dan memiliki komitmen lingkungan. Namun, perbankan nasional Indonesia belum bergerak untuk menghentikan pendanaannya di sektor fosil dan batu bara.
“Sebenarnya bank kita tidak bergerak secara progresif soal pendanaan batu bara,” kata Agung.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan laporan BankTrack berjudul Coal Havens yang baru diterbitkan bulan ini. Laporan tersebut mengkaji kebijakan batu bara dari 30 bank terbesar di Asia, termasuk Indonesia.
Laporan tersebut menyatakan bahwa bank-bank tersebut memiliki kebijakan pengecualian batu bara yang lemah. Kondisi ini berdampak buruk dalam upaya Indonesia untuk melakukan transisi energi.
Hal senada juga disampaikan Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira. Ia mengatakan proyek sektor batu bara dan PLTU di Indonesia kini masih banyak dibiayai bank-bank nasional.
“Beberapa PLTU Batubara kini susah mendapat pinjaman internasional, hanya bank-bank domestik saja yang masih memberikan pembiayaan,” kata Bhima.
Bhima sangat menyayangkan bank-bank nasional di Indonesia belum memiliki komitmen untuk beralih ke pembiayaan energi terbarukan. Padahal, bank-bank di luar negeri sudah menyatakan komitmen untuk mendorong Net Zero Emissions (NZE) 2050.
Bank-bank asing tersebut bahan sudah memiliki target pengurangan pembiayaan batu bara dan energi fosil setiap tahunnya. Namun hingga saat ini, bank nasional belum menetapkan komitmen tersebut.
Bhima menuturkan Otoritas Jasa Keuangan bisa mendorong pembiayaan berkelanjutan bank nasional dengan taksonomi hijau berkelanjutan. Revisi tersebut mengatur pengurangan pembiayaan batu bara dna juga bahan fosil lainnya.
Taksonomi Berkelanjutan Indonesia merupakan revisi Taksonomi Hijau yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Taksonomi Hijau Indonesia sendiri adalah klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Revisi Taksonomi Hijau adalah upaya OJK untuk terus menyempurnakan kebijakannya. Dalam Taksonomi hijau versi terbaru, mulai ada fokus pada permasalahan isu tertentu seperti ESG dan isu-isu transisi.
Bhima berharap hadirnya Taksonomi Berkelanjutan Indonesia akan mendorong pelaku usaha fosil untuk berpindah ke energi terbarukan. Pengusaha yang berani pindah ke energi terbarukan akan mendapatkan insentif sehingga biaya kapitalnya lebih murah.
"Kita berharap Taksonomi Berkelanjutan Indonesia yang sedang digarap OJK memfasilitasi berbagai insentif sehingga bank nasional lebih senang membiayai ke sektor energi terbarukan,” ucapnya.
Bank Dunia Hentikan Pembiayaan Batu Bara
Bank-bank dunia mulai menghentikan pendanaan terhadap proyek-proyek terkait dengan sektor batu bara di Indonesia. Pada 2022, Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris telah menghentikan dukungan pendanaan ke perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, PT Adaro Energy Tbk (ADRO).
Standard Chartered telah mengakhiri hubungannya dengan Adaro Indonesia, anak perusahaan dari grup Adaro Energy, pada 26 April 2022. Langkah ini diambil setelah Standard Chartered berjanji untuk berhenti menyediakan layanan keuangan kepada perusahaan pertambangan dan pembangkit listrik yang memperoleh 100% pendapatan mereka dari batu bara termal.
Terbaru, bank terbesar Singapura, DBS, akan menghentikan pendanaan kepada perusahaan batu bara Indonesia, Adaro Indonesia.
“Eksposur kami terhadap anak perusahaan Adaro Energy di sektor batubara akan berkurang secara signifikan pada akhir 2022. Kami tidak berniat memperbarui pendanaan jika bisnis masih didominasi oleh batu bara termal,” kata juru bicara DBS beberapa waktu lalu.
DBS berkomitmen untuk mengurangi eksposur batu-bara sampai dengan nol pada 2039. Saat ini, batu-bara dianggap sebagai industri yang akan hilang di masa depan (sunset), inilah yang mendorong pemilik dana meninggalkan batu-bara.
Menurut laporan Kementerian ESDM, batu bara dan minyak bumi masih mendominasi bauran energi Indonesia. Pada 2023, bauran batu bara dalam energi primer nasional mencapai 40,46%, dan minyak bumi 30,18%.