Indonesia Buka Keran 'Impor' Karbon dari Negara Lain, Ini 3 Syaratnya

123RF.com/Dilok Klaisataporn
Indonesia menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Salah satu upaya untuk menurunkan emisi karbon secara signifikan adalah dengan memanfaatkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
22/2/2024, 14.13 WIB

Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang memungkin Indonesia melakukan penyimpanan karbon dari luar negeri atau carbon capture storage (CCS) cross border. Namun demikian, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar perusahaan luar negeri bisa menyimpan karbonnya di Indonesia.

Persyaratan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon yang diterbitkan 30 Januari 2024.

Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, mengatakan Indonesia  memiliki potensi penyimpanan karbon lebih dari 577 Gigaton.

Menurut perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), terdapat potensi besar penyimpanan karbon saline aquifer sebesar 572,77 Gigaton. Sementara potensi depleted oil & gas reservoirs sebesar 4.85 Gigaton.

“Perhitungan ini dilakukan internal oleh kepala balai Lemigas dan di bawah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas) Kementerian ESDM,” kata Dirjen Migas Tutuka Ariadji saat acara Penutupan Bulan K3 Nasional di Kantor Lemigas, Jakarta, Selasa (20/2).

Berikut syarat penyimpanan karbon lintas negara:

1. Perusahaan luar negeri atau pengimpor sudah memiliki investasi di Indonesia

Dalam Pasal 35 dituliskan bahwa penyimpanan karbon yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan oleh penghasil Karbon yang melakukan investasi atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia.

Tutuka mengatakan, perusahaan luar negeri tersebut harus memiliki bisnis yang telah di kembangkan atau mendanai sebuah industri di Indonesia.

“Jadi sudah ada industri yang dikembangkan disini,” kata Tutuka.

2. Pengimpor sudah melakukan kerja sama bilateral antarnegara.

Tutuka mengatakan, pengangkutan karbon yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan dengan perjanjian kerja sama bilateral antar negara.

“Misalnya dengan Singapura atau Jepang harus ada MoU antar negara. Baru turunanya nanti business to business (B2B), yang penting MoU antar negara harus ada dulu,” ucapnya.

Kerjasama yang dilakukan antara pengimpor dengan Indonesia harus sesuai ketentuan perjanjian internasional terkait pengangkutan karbon lintas negara.

3. Pengimpor telah mendapat rekomendasi atau izin untuk pengangkutan karbon

Berdasarkan pasal 45 ayat 2, rekomendasi atau izin diperlukan dalam rangka Pengangkutan Karbon lintas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara masing-masing. Jadi, pengimpor tidak dapat mengangkut karbon miliknya sebelum ada izin dari Pemerintah Indonesia.

Selain itu, Karbon yang diangkut ke dalam wilayah kepabeanan Indonesia, wajib diregistrasikan oleh pengimpor. Registrasi dilakukan satu kali saat pertama kali impor.

Apabila terjadi kebocoran karbon, Tutuka mengatakan, hal itu tidak menambah inventaris emisi gas rumah kaca Indonesia.

Menurut Gas Global Report 2022 dari International Gas Union (IGU), ada berbagai tempat di seluruh dunia yang bisa menjadi tempat penyimpanan emisi CO2, dengan total potensi kapasitas sekitar 22.900 gigaton.

Jika dirinci berdasarkan wilayah, tempat penyimpanan emisi CO2 dengan teknologi CCS paling besar berada di Amerika Serikat (AS), dengan potensi kapasitas 12.177 gigaton.

Reporter: Rena Laila Wuri