Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengatakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization, and storage (CCS/CCUS) menjadi salah satu pengubah signifikan (game changer) transisi energi di Indonesia.
Untuk itu, Ketua Kadin Energy Transition Task Force Kadin Indonesia, Anthony Utomo, mendorong sektor industri melakukan inovasi teknologi CCS/CCUS. Dengan demikian, industri di Indonesia dapat mengambil peluang ditengah-tengah transisi energi ini.
“Kita memang harus berkembang dan dapat mengambil peluang ditengah-tengah transisi energi yang akan dan sedang terjadi di Indonesia,” kata Anthony saat menjadi pembicara dalam agenda Indonesia Data and Economics (IDE) Katadata 2024 bertajuk "Energy as A Driver of Economic Growth" di Kempinski Hotel Indonesia, Selasa (5/3).
Menurut dia, transisi energi tidak hanya membawa dampak terhadap perekonomian. Akan tetapi juga mendorong inovasi-inovasi baru dari sektor dan pelaku swasta.
Saat ditanya kesiapan industri menerapkan tekonogi ini, Anthony mengatakan Indonesia memiliki keunikan. Hal ini karena Indonesia memiliki peta jalan transisi energi atau transition energy pathway.
Ia mengatakan, peta jalan tersebut harus melibatkanketahanan energi atau energy security. Sebagai informasi, ketahanan energi merupakan sebuah konsep dimana sebuah negara mampu bertahan dan melakukan pembangunan dengan mengutamakan keamanan dan ketersediaan cadangan energi yang memadai dengan harga yang terjangkau.
Karena itu, kata Anthony pihaknya mendorong agar lebih banyak lagi pelaku-pelaku usaha yang menerapkan teknologi CCS/CCUS. Sehingga dapat mengurangi biaya teknologi CCS/CCUS yang mahal ini.
“Skills of economic dan keekonomiannya bisa didapat dan ujung-ujungnya bisa mengurangi biaya-biaya yang timbul akan terjadinya transisi energi,” ucap dia.
Potensi CCS/CCUS di Indonesia
Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) lebih dari 500 Gigaton. Menurut perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan karbon sebesar 572,77 Gigaton di dalam lapisan saline aquifer dan 4,85 Gigaton di depleted reservoir.
“Perhitungan ini dilakukan internal oleh kepala balai Lemigas dan di bawah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas) Kementerian ESDM,” kata Dirjen Migas Tutuka Ariadji saat acara Penutupan Bulan K3 Nasional di Kantor Lemigas, Jakarta, Selasa (20/2).
Tutuka mengatakan perhitungan potensi baik pada saline aquifer ataupun depleted oil and gas reservoir dilakukan di 20 cekungan. Cekungan North East Java memiliki potensi paling besar di mana kapasitas penyimpanan karbon mencapai 100,83 Gigaton di dalam saline aquifer dan 0,151 Gigaton di depleted reservoir.
Kemudian, Cekungan Tarakan memiliki potensi sebesar 91,92 Gigaton di dalam saline aquifer dan 0,015 Gigaton di depleted reservoir. Cekungan North Sumatera memiliki potensi sebesar 53,34 Gigaton di dalam saline aquifer dan 1,07 Gigaton di depleted reservoir.
Selanjutnya, Cekungan Makassar Strait memiliki potensi 50,70 Gigaton di dalam saline aquifer dan 0,059 Gigaton di depleted reservoir. Sedangkan cekungan Bawean memiliki potensi paling kecil sebesar 1,16 Gigaton di dalam saline aquifer.
Tutuka mengatakan potensi penyimpanan karbon ini memperbarui data dari Lemigas pada 2015 yang hanya menghitung saline aquifer yang ada di Sumatra dan Jawa. Potensi yang tercatat adalah saline aquifer sebesar 9.7 GT dan depleted oil and gas reservoir hanya 2,5 GT.