Institute for Essential Services Reform (IESR) melaporkan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sangat tinggi. Sebanyak 95 persen emisi dari UMKM ini berasal dari pembakaran energi fosil.
Berdasarkan hasil penelitian IESR, emisi GRK UMKM mencapai 216 juta ton CO2 di 2023. Angka tersebut setara dengan emisi GRK yang dihasilkan dari sektor industri nasional yang menyentuh 238,1 juta ton karbon dioksida pada 2022 menurut Kementerian Perindustrian.
IESR melakukan survei terhadap 1.000 pelaku UMKM yang tersebar di 10 provinsi dengan jumlah terbanyak. Jumlah sampel tersebut merepresentasikan lebih dari 65 juta UMKM di Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, UMKM memiliki peran signifikan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Menurutnya, pengurangan emisi atau dekarbonisasi di seluruh rantai pasok pada sektor UMKM akan membuka peluang UMKM Indonesia bersaing di tingkat global.
“Studi kami menemukan bahwa 95 persen emisi dari UMKM ini berasal dari pembakaran energi fosil. Berkaca dari data tersebut, maka pemerintah perlu mulai mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam mendekarbonisasi UMKM,” dalam webinar bertajuk “ ujarnya dalam webinar Peluang Dekarbonisasi UMKM di Indonesia dan Pembelajran dari Pengalaman Global, secara daring, Kamis (14/3).
Ia mengatakan, pemerintah perlu pula mengusulkan strategi dan memberikan bantuan berupa finansial maupun asistensi teknis kepada UMKM agar mampu merencanakan dan mendorong investasi demi menurunkan emisi GRK.
Perlu Update Teknologi
Sementara itu, Analis IESR Abyan Hilmy Yafi mengatakan perlu adanya strategi yang tepat dalam menekan emisi GRK yang dihasilkan sektor UMKM. Strategi pertama yaitu dengan pemutakhiran teknologi dan elektrifikasi untuk mendekarbonisasi UMKM.
Misalnya, UMKM sektor tekstil dapat dialihkan untuk menggunakan boiler elektrik, sedangkan sektor kontruksi dapat meningkatkan penggunaan semen rendah karbon, formulasi beton inovatif, dan mengusulkan peralatan energi efisiensi kepada pemilik rumah.
“Upgrade teknologi dan elektrifikasi menjadi solusi utama untuk dekarbonisasi UMKM,” kata Abyan.
Dia mengatakan, strategi selanjutnya yaitu penurunan emisi lintas sektoral. Dalam strategi ini, setidaknya ada lima solusi yang ditawarkan.
Pertama, mendorong pelaku UKM secara reguler memonitor penggunaan energi dan produksi sampahnya. Kedua, memberdayakan UKM melalui insentif dukungan kolaboratif dari perusahaan besar, pemerintah, dan akademisi.
Ketiga, mempromosikan penggunaan energi terbarukan dan peralihan bahan bakar bagi UKM. Keempat, mendorong perubahan perilaku dengan meningkatkan kesadaran UKM terhadap perubahan iklim dan dampaknya terhadap bisnis mereka.
Terakhir, membangun pusat data atau database UKM nasional yang kuat mengenai energi, penggunaan material, dan penanganan limbah.
Abyan mengatakan melalui strategi awal dengan dekarbonisasi UMKM ini, beberapa manfaat ekonomi akan didapatkan. Manfaat tersebut diantaranya penciptaan peluang bisnis baru, peningkatan nilai merek, dan menarik kepercayaan pelanggan.
Tidak hanya itu, dekarbonisasi juga akan meningkatkan proses produksi, profitabilitas, dan daya saing seiring mengurangi risiko perubahan iklim dan memastikan dampak positif terhadap lingkungan.
Ia juga mengatakan UMKM perlu mendapatkan lebih banyak pendampingan. Hal ini karena banyak pelaku UMKM yang tidak mengetahui tentang energi, satuannya dan bagaimana cara melakukan efisiensinya.
“Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, UMKM dapat menjadi agen perubahan yang mendorong transisi menuju perekonomian yang bersih dan berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik bagi semua,” ucap Abyan.