185 Komunitas Masyarakat Adat Hidup di Sekitar IKN, Baru 5 yang Diakui
Sebanyak 185 komunitas masyarakat hukum adat hidup di sekitar Ibu Kota Nusantara (IKN) di Provinsi Kalimantan Timur. Namun, baru lima komunitas masyarakat hukum adat yang diakui oleh pemerintah daerah setempat.
Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN, Myrna Safitri, menekankan pentingnya pengakuan atas masyarakat adat dari pemerintah daerah. Ketiadaan pengakuan masyarakat adat oleh pemerintah daerah menjadi salah satu tantangan dalam pembangunan IKN.
Dia mengatakan, pengakuan masyarakat adat dapat memperlancar proses pembangunan IKN sekaligus memastikan hak-hak mereka terlindungi.
"Kami bukannya tidak ingin mengakui masyarakat adat, tetapi kami perlu mencari dasar hukum yang lebih kuat untuk mengakui mereka," ujar dia saat berbicara dalam International Conference on Forest City di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (30/5).
Myrna mengatakan, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengakui masyarakat adat berdasarkan kebijakan nasional. Beragam instrumen regulasi telah tersedia, tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan masyarakat hukum adat adalah pernyataan tertulis bupati atau wali kota atas keberadaan masyarakat hukum adat di wilayah masing-masing.
Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (PMPD) Kalimantan Timur, lima komunitas masyarakat adat yang diakui oleh pemerintah daerah tersebut adalah Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kayan Umaq Lekan di Desa Miau Baru, Kutai Barat; MHA Wehea di enam desa di Kecamatan Wahau, Kutai Kartanegara; MHA Basap Tebangan Lembak di Kecamatan Bengalon; MHA Long Bentuk di Kecamatan Busang; dan MHA Basap di Karangan Dalam.
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adat, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal.
Mereka juga memiliki hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.
Selain pengakuan masyarakat adat, IKN juga dihadapkan pada tantangan untuk memulihkan ekosistem yang terdegradasi, yang membutuhkan waktu lama dan upaya yang besar untuk memulihkannya. Untuk itu, Myrna menekankan pentingnya kolaborasi dengan seluruh pihak untuk mewujudkan IKN sebagai kota hijau.
“Saya yakin kita tidak hanya ingin menjadikan IKN baik dari segi pemerintahan, tetapi juga bisa memberikan keadilan bagi lingkungan dan juga masyarakat,” ujarnya.