Biofuel Berisiko Deforestasi, IMO Diminta Tak Masukkan ke Kerangka Net-Zero

Vecteezy.com/Md. Imam Hasan
Ilustrasi biofuel, bioenergi
21/10/2025, 11.25 WIB

Biofuelwatch, Forest Watch Indonesia (FWI), dan Global Forest Coalition mendesak Organisasi Maritim Internasional (IMO) untuk mengecualikan biofuel yang merusak lingkungan dari kepatuhan terhadap Kerangka Net-Zero.

Ketiganya menilai, selama beberapa dekade bukti ilmiah menunjukkan bahwa emisi akibat perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC) dari biofuel berbasis tanaman, seperti kedelai dan kelapa sawit, menghapus seluruh klaim manfaat iklimnya.

Produksi biofuel jenis ini justru memicu deforestasi, kerawanan pangan, serta perampasan tanah dan air, karena ekspansi pertanian bergeser ke lahan marginal atau tak tergarap. Biofuel berbasis kedelai dan sawit bahkan dapat menghasilkan emisi yang lebih tinggi daripada bahan bakar fosil.

Climate Campaigner di Global Forest Coalition, Jana Uemura mengungkapkan, biofuel bukanlah solusi berkelanjutan dalam kondisi apa pun. Misalnya, dia menyebut di Amerika Latin, dorongan terhadap biofuel berbasis kedelai telah mempercepat deforestasi dan mengusir masyarakat dari tanah mereka.

"Jika IMO menciptakan permintaan baru untuk biofuel, hal itu hanya akan melepaskan lebih banyak emisi, ketimpangan, dan perampasan lahan,” kata Jana Uemura dikutip dari pernyataan resmi, Selasa (21/10).

Sementara itu, Forest Campaigner dari Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, menegaskan bahwa menolak biofuel dalam Kerangka Net-Zero berarti melindungi hutan hujan tropis yang tersisa, yang merupakan penyerap karbon penting sekaligus pusat keanekaragaman hayati dunia.

Krisis iklim sudah nyata. Sangat penting untuk mengambil sikap tegas dengan mengadopsi sumber energi yang benar-benar nol emisi, bukan biofuel yang justru memicu emisi baru melalui deforestasi,” ujarnya.

Contoh yang terjadi di Indonesia, kata dia, seharusnya menjadi peringatan bagi negara lain. Ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk biofuel terus menjadi penyebab utama deforestasi, bahkan di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.

“Kehilangan hutan tidak hanya memperburuk emisi, tetapi juga mengancam kehidupan serta hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya hutan,” tambahnya.

Untuk mencegah dampak ini, IMO didesak agar mengecualikan bahan bakar dengan tingkat ILUC tinggi dari kerangka kerja Net-Zero.

Berbagai kebijakan nasional dan industri besar, termasuk kebijakan maritim dan penerbangan Uni Eropa, mandat SAF Inggris, dan skema CORSIA dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), telah mengecualikan atau membatasi biofuel dengan ILUC tinggi, atau memasukkan emisi ILUC dalam perhitungan siklus hidup emisi. IMO, kata mereka, tidak boleh tertinggal.

Biofuel Berbasis Tanaman Maupun Limbah Tak Mampu Kurangi Emisi Secara Nyata

“Kami mendesak seluruh pemerintah anggota IMO untuk mengambil sikap kuat dan bersatu menolak dimasukkannya biofuel dalam Kerangka Net-Zero,” ujar Biofuel Campaigner di Biofuelwatch, Pax Butchart.

“Sains sudah jelas: biofuel berbasis tanaman maupun limbah tidak dapat memberikan pengurangan emisi yang nyata. Pemerintah kini memiliki kesempatan bersejarah untuk mengarahkan sektor pelayaran menuju solusi energi bersih sejati yang melindungi manusia dan planet," tambahnya.

Selain itu, biofuel yang diproduksi dari limbah dan residu, seperti minyak goreng bekas (UCO), juga memiliki ketersediaan dan skala yang terbatas, sehingga tidak akan mampu memenuhi kebutuhan energi sektor pelayaran internasional dalam jangka panjang.

Riset terbaru memperkirakan bahwa meskipun UCO menjadi jalur termurah untuk memenuhi kepatuhan terhadap regulasi, pasokannya sangat terbatas dan sebagian besar sudah digunakan di sektor transportasi darat.

Pasokan minyak limbah global yang saat ini digunakan untuk produksi biofuel hanya mampu memenuhi sekitar 5% dari kebutuhan energi sektor pelayaran, sehingga industri kemungkinan akan beralih ke jalur kepatuhan berikutnya, yaitu biofuel dengan ILUC tinggi, yang membawa risiko besar terhadap keberlanjutan.

Selain itu, UCO dan turunan kelapa sawit, seperti limbah pabrik kelapa sawit (POME) dan palm fatty acid distillate (PFAD), telah dikaitkan dengan praktik penipuan, lemahnya sistem audit, serta pengalihan risiko dari penggunaannya saat ini, yang berpotensi meningkatkan penggunaan minyak sawit tak berkelanjutan di tempat lain.

Ketiganya berharap IMO mengejar alternatif yang benar-benar berkelanjutan, termasuk peningkatan efisiensi energi, propulsi berbasis angin, serta pengurangan permintaan transportasi laut dalam perdagangan internasional.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Nuzulia Nur Rahmah