Landscape Advisory: Perubahan Tata Guna Lahan Memperparah Banjir Sumatra

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Warga melintas di dekat gedung Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Beutong Ateuh Banggalang yang rusak karena diterjang banjir bandang di Kuta Teugong, Nagan Raya, Aceh, Kamis (11/12/2025).
19/12/2025, 14.41 WIB

Riset berjudul 'Warned by Nature' yang dipublikasikan oleh Landscape Advisory mengungkap bencana banjir di Sumatra mencerminkan ketimpangan struktural tentang siapa yang memperoleh keuntungan dan siapa yang menanggung kerugian dari perubahan tata guna lahan.

“Banjir di Sumatra bukan hanya krisis hidrometeorologi, ini adalah contoh klasik tentang ‘siapa yang untung dan siapa yang membayar’. Hujan adalah fenomena alam, tetapi skala kehancurannya bersifat politis,” tulis CEO Landscape Advisory, Agus P. Sari, dalam jurnal tersebut, Jumat (19/12).

Kajian itu menjelaskan kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dalam dua dekade terakhir telah diubah secara masif dari hutan alami menjadi lanskap konsesi. 

Aktivitas pembalakan, ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, pembangunan pembangkit listrik tenaga air, hingga infrastruktur besar telah mengonversi daerah tangkapan air yang curam dan sebelumnya berhutan lebat.

“Berbagai studi di Sumatra menunjukkan kehilangan hutan sangat didorong oleh ekspansi pertanian untuk kelapa sawit dan pulp, ekstraksi kayu, serta pembangunan jalan guna memasok pasar komoditas global,” tulis Agus dalam riset tersebut.

Dampak yang paling nyata dirasakan masyarakat. Di Aceh, kejadian banjir secara signifikan lebih sering terjadi di wilayah dengan tutupan pohon rendah, proporsi perkebunan sawit tinggi, dan curah hujan intens. Kelompok termiskin tercatat sebagai pihak yang paling terdampak. 

Data yang dikompilasi Landscape Advisory dari berbagai sumber menunjukkan, sejak 2001 Sumatra telah kehilangan sedikitnya 4,4 juta hektare hutan. Sekitar 1,4 juta hektare deforestasi terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada periode 2016–2025. Sebagian besar berkaitan dengan pertambangan, pembalakan, dan ekspansi perkebunan, baik legal maupun ilegal.

Ketika hujan ekstrem dan siklon datang, lereng-lereng yang telah dibuka untuk kepentingan ekonomi tidak lagi mampu menahan tanah dan air. “Ketika siklon datang, lereng-lereng yang telah dikupas demi keuntungan ekonomi itu pun runtuh begitu saja,” tulis Agus.

Korporasi dan Pasar Global Menikmati Keuntungan

Agus menyebut pihak yang paling diuntungkan adalah konglomerat berbasis lahan beserta para pemodalnya. Perusahaan kelapa sawit, pulp dan kertas, pertambangan, serta energi memperoleh konsesi jangka panjang atas kawasan hutan negara dan tanah adat dengan biaya relatif murah.

“Perusahaan kelapa sawit, pulpwood, pertambangan, dan energi mengamankan konsesi jangka panjang atas kawasan hutan negara dan tanah adat dengan sewa yang rendah, lalu menikmati seluruh keuntungan ekonominya,” ujarnya.

Pasar nasional dan global juga turut menikmati hasilnya. Komoditas dari Sumatra mengalir ke industri di Jawa serta pasar ekspor di Eropa, Tiongkok, dan India. Namun, nilai ekologis hutan yang hilang hampir tidak pernah dihitung.

“Nilai ekologis hutan Aceh yang masih utuh, termasuk fungsi pengaturan air untuk irigasi dan perkebunan diperkirakan mencapai sekitar US$ 206 juta (Rp 3,45 triliun) per tahun, namun nilai ini jarang diperhitungkan dalam keputusan tata guna lahan,” kata Agus.

Warga dan Anggaran Publik Menanggung Beban Bencana

Sebaliknya, biaya terbesar ditanggung masyarakat perdesaan di dataran banjir dan sepanjang bantaran sungai. Rumah, sawah, dan kebun warga hanyut oleh banjir bandang dan kayu-kayu dari wilayah hulu.

“Warga desa kehilangan rumah, sawah, dan kebun mereka akibat ‘tsunami kayu’ gelondongan kayu yang mereka sendiri tidak pernah tebang,” tulis Landscape Advisory dalam riset itu.

Ironisnya, kelompok yang paling jauh dari ekonomi komoditas justru paling terpapar risikonya. “Mereka yang paling tidak terhubung dengan ekonomi komoditas secara paradoks adalah pihak yang paling terekspos terhadap risiko yang diciptakannya,” ungkapnya.

Negara pun menanggung beban besar. Belanja publik terkait bencana di Indonesia diperkirakan mencapai ratusan juta dolar AS per tahun, dengan kerugian akibat banjir pada tahun-tahun tertentu mencapai miliaran dolar.

“Respons darurat, bantuan sosial, serta rekonstruksi jalan, jembatan, dan jaringan listrik dibiayai oleh pembayar pajak di seluruh Indonesia, bukan oleh neraca keuangan pihak-pihak yang diuntungkan dari pembukaan hutan di perbukitan,” tulis jurnal tersebut.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Nuzulia Nur Rahmah