Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2 pada 2030. Hal itu sesuai dengan Ratifikasi Paris Agreement pada saat Conference on Parties (COP) 22 di Morocco pada November 2016.
Dalam Paris Agreement, Indonesia berkomitmen mengurasi emisi gas rumah kaca secara bertahap. Pada 2030, Indonesia menargetkan pengurangan emisi hingga 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
"Estimasi kebutuhan investasi untuk menurunkan 314 juta ton emisi karbon sebesar Rp 3.500 triliun," ujar Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukkan Dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari dalam acara webinar pada Rabu (19/8).
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah akan mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah menargetkan sektor EBT dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 156,6 juta ton CO2 atau 49,8% dari total aksi mitigasi sektor energi.
"Kebutuhan investasi sektor EBT sebesar Rp 1.690 triliun," kata dia.
Lebih lanjut, Ida mengatakan, Indonesia telah memiliki 10,4 gigawatt (GW) pembangkit listrik terpasang berbasis EBT hingga semester pertama tahun ini. Jumlah tersebut didominasi oleh energi hidro dengan komposisi sekitar 6,07 GW dan panas bumi sebesar 2,13 GW.
Meski begitu, suplai energi primer Indonesia hingga saat ini didominasi oleh energi fosil sekitar 90%. Energi fosil itu terdiri dari batu bara, gas, dan minyak.
Sedangkan komposisi EBT dalam bauran energi primer pembangkit listrik pada akhir tahun lalu sebesar 9,15 persen. Energi primer pada 2019 pun masih didominasi oleh batu bara sebesar 37,15 persen dan gas sebesar 33,58 persen.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya memperbaiki tata kelola EBT. Salah satunya dengan menggodok Peraturan Presiden tentang harga jual, regulasi dan pemberian insentif sektor EBT. Dengan begitu, pemerintah berharap investor tertarik berinvestasi di sektor energi ramah lingkungan seperti panas bumi, air dan angin.