IEEFA: Gasifikasi Batu Bara Jadi DME Tidak Layak dari Sisi Investasi

Ringkasan
- Menko Marinves RI, Luhut Binsar Pandjaitan, bertemu dengan PM Singapura, Lee Hsien Loong, dan Deputi PM, Lawrence Wong, untuk menjajaki kerjasama penyimpanan karbon lintas batas atau carbon capture storage (CCS), yang dianggap bisa mendukung pembangunan industri rendah karbon antara kedua negara.
- Indonesia diakui sebagai negara Asia Pasifik dengan perkembangan regulasi CCS tercepat, memiliki potensi penyimpanan karbon lebih dari 577 Gigaton, menunjukkan kemampuan signifikan dalam mendukung kerjasama penyimpanan karbon.
- Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon yang memungkinkan penyimpanan karbon dari luar negeri dengan syarat tertentu, termasuk adanya investasi di Indonesia, kerja sama bilateral antarnegara, serta perolehan rekomendasi atau izin dari pemerintah Indonesia.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai Proyek gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) berkapasitas 1,4 juta ton yang didorong Presiden Prabowo Subianto, bukan investasi yang layak.
Analis Keuangan Energi IEEFA, Ghee Peh, mengatakan pengembangan proyek DME membutuhkan investasi yang cukup besar mencapai US$ 3,1 miliar atau setara dengan Rp 51,3 triliun. Namun, tingginya biaya investasi tersebut tidak diiringi dengan imbal hasil atau profitabilitas yang sepadan karena manfaat yang tidak signifikan baik untuk harga produk sampai dengan manfaat lingkungan.
“Mempertimbangkan peluang dan biaya, serta harga energi lebih tinggi yang harus ditanggung masyarakat, proyek DME bukan investasi yang layak,” ujar Ghee dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (27/3).
Sebagaimana diketahui, proyek DME akan dapat menggantikan 15% impor LPG Indonesia. Namun, kelayakan ekonominya meragukan, mengingat profitabilitasnya tidak pasti.
Ghee menjelaskan kondisi tersebut berkaca pada proyek DME Shanxi Lanhua yang berhenti produksi lantaran biaya produksinya mencapai US$ 533 per ton, atau jauh lebih tinggi dari harga DME di Cina sebesar US$ 460 per ton pada 2023. Untuk proyek DME di Indonesia, sebelumnya PT Bukit Asam (Persero) Tbk menghitung kebutuhan biaya sebesar US$ 2 miliar pada 2020.
“Dengan faktor inflasi 30% maka biaya tersebut dapat melonjak menjadi US$2,6 miliar pada 2025 ini,” ujarnya.
Dia mengatakan, perusahaan akan kehilangan keuntungan cukup besar jika mengelola produk batu bara menjadi DME. Berdasarkan laporan keuangan PT Bukit Asam per September 2024, perusahaan untung US$8 untuk setiap ton batu bara yang dijual.
Ghe memprediksi potensi keuntungan bisa hilang US$ 520 juta selama 10 tahun jika 6,5 juta ton batu bara harus dialihkan untuk proyek DME pada harga yang mengacu biaya tunai produksi.
“Sehingga total biaya proyek DME akan menyentuh US$3,1 miliar–dengan belanja modal US$2,6 miliar ditambah hilangnya keuntungan US$520 juta– mencapai 70% dari biaya impor LPG Indonesia US$4,3 miliar per tahun, di mana volume impor LPG 7 juta ton. Namun, proyek ini hanya akan menghasilkan 1 juta ton setara energi LPG,” ucapnya.
Selain itu, biaya produksi DME juga cukup tinggi, yakni mencapai US$614-651 per ton, setelah memasukkan komponen biaya batu bara dan non-batu bara dalam produksinya.
Angka tersebut lebih tinggi dari harga LPG yang telah disetarakan dengan DME. Hal itu karena DME menghasilkan energi yang lebih rendah dari LPG–yang hanya US$431 per ton.
“Jadi meski pada batas bawah biaya produksi non-batu bara, harga DME US$183 per ton atau 42% lebih mahal dari harga LPG, Maret 2025,” ungkapnya.